Sabtu, 30 April 2011

Kartu AKSes, Jaminan Investasi, Perlindungan dan Transparansi




Kartu AKSes, Jaminan Investasi, Perlindungan dan Transparansi
“Saya mau tahu apa itu Kartu AKSes. Kenapa Adrian Maulana mau jadi Duta KSEI,” guman Nining

Kartu AKSes. Nining pun mulai gerilya browsing di google, tentang profesi baru Adrian Maulana, juga didorong rasa ingin tahu tentang Kartu AKSes. Selidik punya selidik, Adrian Maulana ternyata didapuk oleh PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) untuk menjadi Duta Kartu Akses. Lho, kok bisa?

Adrian yang saat ini menjadi investor di pasar modal, dikontrak KSEI untuk setahun ke depan mensosialisasikan penggunaan kartu AKSes. Sebagai Duta Kartu AKSes , KSEI menugasi Adrian untuk mengajak investor menggunakan Kartu AkSes sehingga dalam melihat pergerakan portofolionya setiap saat secara gratis. Hal ini untuk menghindari adanya kasus penipuan di pasar modal seperti yang telah terjadi sebelumnya. Kartu AKSes

Kartu AKSes. Setelah lebaran nanti, sosialisasi diarahkan ke luar Jakarta yang menjangkau seluruh daerah. Tugasnya menjadi Duta Kartu AKSes tidak mengganggu aktivitasnya yang saat ini juga sebagai investor. Bahkan rencananya ke depan akan mendirikan perusahaan konsultan investasi.

Kartu AKSes. Rasa penasaran Nining tidak sampai disitu saja, dia mulai menelusuri apa fungsi kartu AKSes itu. Kartu AKSes adalah kartu yang bentuknya seperti kartu ATM. Kartu ini diterbitkan oleh PT KSEI sebagai sarana cepat investor untuk memonitor kepemilikan sahamnya di bursa.

Lewat AKSes, investor bisa dengan mudah mengetahui jumlah efeknya, aset emiten yang akan dibidik bahkan sekuritas yang mulai menunjukan gejala mencurigakan pun bisa diendus. Meski modelnya seperti kartu ATM, namun penggunaan kartu AKSes ini hanya bisa melalui akses internet, bukan mesin ATM. Kartu AKSes bisa membuat investor jadi lebih aktif.

Fasilitas AKSes Kartu AKSes merupakan sarana informasi melalui website yang disediakan KSEI bagi investotr sebagai nasabah pemegang rekening KSEI. Melalui fasilitas AKSes, investor mempunyai hak istimewa untuk melihat dan memonitor petrgerakan efek miliknya yang tersimpan dalam Sub Rekening Efek KSEI. Cukup klik http://akses.ksei.co.id.

Dengan kartu AKSes dapat menghindari kejahatan pasar modal yang belakangan ini seringkali terjadi. Munculnya kasus sejumlah sekuritas bodong seperti Antaboga dan Sarijaya, membuat banyak investor trauma. Maka, dengan AKSes, kejahatan pasar modal seperti itu, setidaknya bisa ditekan dan aset investor jadi jauh lebih aman.
Read more >>

Jumat, 29 April 2011

PERATURAN PT BURSA EFEK SURABAYA



PERATURAN KEANGGOTAAN BURSA EFEK SURABAYA NOMOR III.A.1 : PERSYARATAN ANGGOTA BURSA EFEK

A. DEFINISI

1. Kecuali diberikan pengertian secara khusus, maka semua kata dan atau istilah dalam Peraturan ini mempunyai pengertian yang sama sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal dan peraturan pelaksanaannya. 2. Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan :

a. Bursa adalah PT Bursa Efek Surabaya; b. Firm Manager adalah Trader yang ditunjuk oleh Anggota Bursa Efek untuk mengkoordinasikan dan mengawasi para Trader dalam melaksanakan perdagangan Efek melalui sistem dan atau sarana Bursa Efek sesuai dengan Peraturan ini; c. Surat Persetujuan Anggota Bursa Efek (SPAB) adalah surat persetujuan yang diberikan oleh Bursa kepada Perusahaan Efek yang telah memperoleh izin usaha dari Bapepam, sehingga mempunyai hak untuk mempergunakan sistem dan atau sarana Bursa Efek sesuai dengan Peraturan ini; d. Surat Izin Memperdagangkan (SIM) adalah surat izin yang diberikan oleh Bursa kepada Anggota Bursa Efek untuk dapat memperdagangkan Efek tertentu melalui Bursa sesuai dengan Peraturan ini; e. Trader adalah pegawai Anggota Bursa Efek yang ditunjuk oleh Anggota Bursa Efek untuk melaksanakan perdagangan Efek melalui sistem dan atau sarana Bursa Efek sesuai dengan Peraturan ini.

B. PERSYARATAN ANGGOTA BURSA EFEK SURABAYA

Pihak yang dapat menjadi Anggota Bursa Efek, wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut :

1. memiliki izin usaha sebagai Perusahaan Efek yang bergerak di bidang Perantara Pedagang Efek dan atau Penjamin Emisi Efek dari Bapepam;

2. memiliki sekurang-kurangnya 2 (dua) orang Direktur yang mempunyai izin orang perseorangan sebagai Wakil Perantara Pedagangan Efek (WPPE) dan atau Wakil Penjamin Emisi Efek (WPEE) dari Bapepam;

3. memiliki 1 (satu) saham Bursa;

4. memiliki MKBD sebesar Rp 5.000.000.000,- (lima milyar rupiah) atau sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal;

5. mempunyai sendiri sistem dan atau sarana untuk menyampaikan penawaran jual dan atau penawaran beli secara on line atau menunjuk penyedia jasa aplikasi (Application Service Provider) yang telah memperoleh rekomendasi dari Bursa;

6. memenuhi persyaratan untuk memiliki sekurang-kurangnya 1 (satu) Surat Izin Memperdagangkan Efek tertentu (SIM) sebagaimana diatur dalam Peraturan Keanggotaan Nomor III.B.1 dan III.D.1.; 7. membayar biaya Keanggotaan Awal (initial membership fee) sebesar Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah).

C. PROSEDUR MENJADI ANGGOTA BURSA EFEK SURABAYA

Perusahaan Efek yang bermaksud menjadi Anggota Bursa Efek wajib mengajukan surat permohonan untuk menjadi Anggota Bursa Efek kepada Bursa, sesuai Lampiran III.A.1-1 Peraturan ini, dengan melampirkan dokumen-dokumen sebagai berikut :

1. copy Anggaran Dasar Perseroan serta seluruh perubahannya yang telah dilaporkan dan atau telah disahkan oleh Menteri Kehakiman Republik Indonesia serta copy Tanda Daftar Perusahaan (TDP); 2. copy izin usaha sebagai Perantara Pedagang Efek dan atau Penjamin Emisi Efek dari Bapepam; 3. riwayat perseroan yang meliputi riwayat kepemilikan saham perseroan, riwayat perubahan direksi dan perubahan komisaris (jika ada); 4. copy izin orang perseorangan sebagai WPPE dan atau WPEE dari Bapepam bagi seluruh direksi; 5. copy surat persetujuan dari Bapepam atas penunjukan direksi dan komisaris yang terakhir, yang dilengkapi dengan daftar riwayat hidup, copy bukti jati diri dan pas photo ukuran 4 x 6 cm sebanyak 2 (dua) lembar dari masing-masing direksi dan komisaris; 6. struktur organisasi dan nama pegawai yang bertanggungjawab atas masingmasing bagian; 7. surat penunjukan sekurang-kurangnya 1 (satu) orang direksi atau 1 (satu) orang pegawai Perusahaan Efek sebagai Trader sesuai dengan Lampiran III.A.1-2 Peraturan ini; 8. surat penunjukan calon Firm Manager, apabila jumlah Trader lebih dari 1 (satu), sesuai dengan Lampiran III.A.1-3 Peraturan ini; 9. copy sertifikat Pelatihan Sistem Perdagangan Efek yang dikeluarkan oleh Bursa bagi Trader yang ditunjuk; 10. copy NPWP dan keterangan domisili Perusahaan Efek; 11. copy keterangan domisili anggota direksi Perusahaan Efek; 12. copy surat pernyataan dari masing-masing direksi dan komisaris sesuai dengan Peraturan Bapepam No. V.A.1 tentang Perizinan Perusahaan Efek; No. Revisi : 1.0 13. Laporan MKBD terakhir; 14. rencana kerja sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun ke depan; 15. surat pernyataan direksi yang menyatakan bahwa Perusahaan Efek telah mempunyai sistem dan atau sarana untuk menyampaikan penawaran jual dan atau beli ecara on line atau menunjuk penyedia jasa aplikasi (application service provider) yang telah memperoleh rekomendasi dari Bursa; 16. Bukti pembayaran biaya keanggotaan awal (initial membership fee).

D. TATA CARA PEMBERIAN PERSETUJUAN ANGGOTA BURSA EFEK SURABAYA

1 Bursa melakukan penelaahan atas permohonan Perusahaan Efek untuk menjadi Anggota Bursa Efek selambat-lambatnya 5 (lima) Hari Bursa sejak dokumen permohonan untuk menjadi Anggota Bursa Efek diterima secara lengkap. 2 Jika Bursa tidak meminta Perusahaan Efek untuk mengajukan perubahan dan tambahan informasi dalam jangka waktu 5 (lima) Hari Bursa setelah pengajuan, permohonan untuk menjadi Anggota Bursa Efek harus dianggap telah diajukan secara lengkap dan memenuhi persyaratan serta prosedur yang ditetapkan pada tanggal pengajuan. 3 Jika Bursa meminta Perusahaan Efek membuat perubahan atau penambahan atas permohonan untuk menjadi Anggota Bursa Efek, permohonan menjadi Anggota Bursa Efek tersebut dianggap telah diajukan kembali pada tanggal perubahan atau penambahan dimaksud diserahkan ke Bursa. 4 Persetujuan menjadi Anggota Bursa Efek dapat menjadi efektif, sesuai persyaratan untuk menjadi Anggota Bursa Efek, dengan memperhatikan ketentuan sebagai berikut :

a. atas dasar lewatnya waktu, yakni : 1) 5 (lima) Hari Bursa sejak dokumen permohonan menjadi Anggota Bursa Efek diterima secara lengkap, atau; 2) 5 (lima) Hari Bursa sejak tanggal perubahan atau penambahan terakhir yang diajukan Perusahaan Efek atau yang diminta Bursa dipenuhi. b. atas dasar persetujuan dari Bursa bahwa tidak ada lagi keterangan lebih lanjut yang diperlukan. 5 Bursa dapat memberikan Surat Persetujuan Anggota Bursa Efek (SPAB) selambat-lambatnya dalam jangka waktu 5 (lima) Hari Bursa setelah kecukupan dan objektifitas informasi yang diungkapkan di dalam permohonan No. Revisi : 1.0 menjadi Anggota Bursa Efek selesai ditelaah oleh Bursa. Bentuk dan isi SPAB sesuai dengan Lampiran III.A.1-4 Peraturan ini. 6 Bersamaan dengan pemberian SPAB sebagaimana dimaksud dalam ketentuan huruf D.5 Peraturan ini, Bursa juga memberikan Surat Izin Memperdagangkan Efek tertentu (SIM) yang bentuk dan isinya sesuai dengan Lampiran III.B.1-2 Peraturan Nomor III.B.1 tentang Persyaratan Pemberian SIM Efek Bersifat Ekuitas (SIM-E) dan atau Lampiran III.D.1-2 Peraturan Nomor III.D.1 tentang Persyaratan Pemberian Surat Izin Memperdagangkan Efek Kontrak Berjangka Indeks Efek (SIM-KBIE). 7 Bagi Anggota Bursa Efek yang telah memiliki salah satu Surat Izin Memperdagangkan (SIM) untuk Efek tertentu dan ingin mengajukan permohonan untuk memperoleh SIM untuk Efek lainnya, maka Anggota Bursa Efek yang bersangkutan wajib mengajukan permohonan kepada Bursa sesuai Peraturan Nomor III.B.1 tentang persyaratan Pemberian Surat Izin Memperdagangkan Efek Bersifat Ekuitas (SIM-E) atau Peraturan Nomor III.D.1 tentang Persyaratan Pemberian Surat Izin memperdagangkan Efek Kontrak Berjangka Indeks Efek (SIM-KBIE). 8 Setiap saat sebelum atau sesudah pemberian SPAB, jika dipandang perlu, Bursa dapat melakukan peninjauan ke kantor Perusahaan Efek atau Anggota Bursa Efek.

E. KOMITE DISIPLIN ANGGOTA

1. Bursa membentuk Komite Disiplin Anggota yang mempunyai tugas pokok untuk memberikan saran penyelesaian kepada Bursa atas setiap perselisihan yang terjadi antar Anggota Bursa Efek dan atau antara Anggota Bursa Efek dengan nasabah. 2. Ketentuan lebih lanjut mengenai keanggotaan, tugas dan fungsi Komite Disiplin Anggota ditetapkan dalam Surat Keputusan Direksi.

F. KETENTUAN LAIN-LAIN

1. Perusahaan Efek yang telah menjadi Anggota Bursa Efek sebelum ditetapkannya Peraturan ini yang belum memiliki sistem dan atau sarana untuk menyampaikan penawaran jual dan atau penawaran beli secara on line diperbolehkan untuk mempergunakan sistem perdagangan S-MART dan FATS. Ketentuan lebih lanjut mengenai hal ini ditetapkan dalam Surat Keputusan Direksi. 2. Perusahaan Efek yang telah memperoleh Surat Persetujuan Anggota Bursa (SPAB) wajib menjadi anggota kliring sesuai dengan ketentuan LKP dan membuka Rekening Efek pada LPP sesuai dengan ketentuan LPP.
Read more >>

Kamis, 28 April 2011

Indonesia Stock Exchange IDX




Indonesia Stock Exchange (abbreviated IDX, or the Indonesia Stock Exchange (IDX)) is the result of a merger of the Stock Exchange Jakarta Stock Exchange (JSX) and Surabaya Stock Exchange (SSX). For the sake of operational effectiveness and transactions, the Government decided to merge the Jakarta Stock Exchange as the stock market with the Surabaya Stock Exchange as bonds and derivatives markets.Bursa result of this merger began operations on December 1, 2007. IDX
Indonesia Stock Exchange IDX. Stock Exchange trading system called the Jakarta Automated Trading System (JATS) since May 22, 1995, replacing the manual system used previously. [4] Since March 2, 2009 JATS system itself has been replaced with a new system called JATS-NextG provided OMX.

Indonesia Stock Exchange IDX is based in Commerce Regions Sudirman, Jl. Jend. Sudirman 52-53, Senayan, Kebayoran Baru, South Jakarta stock index

Indonesia Stock Exchange IDX. To provide more complete information about the development of the stock to the public, disseminate BEI stock price data through print and electronic media. One indicator of stock price movement is the stock price index.

Indonesia Stock Exchange IDX. Currently, the BEI has seven kinds of stock index:  and that date is set as the anniversary Indonesia stock exchange.

Indonesia Stock Exchange IDX. JCI, using all share index was recorded as a component calculations. Sectoral indices, using all the stocks included in each sector.

LQ45 index, using the 45 stocks selected after going through several stages of selection.

Indonesia Stock Exchange IDX. Individual index, which is an index for each stock based on the basic price.

Jakarta Islamic Index, an index of Islamic stock trading.

Indonesia Stock Exchange. Index Main Board and Development Board, the index based on stocks listed on the Stock Exchange Main Board and the Development Board. Indonesia Stock Exchange IDX
Indonesia Stock Exchange (abbreviated IDX, or the Indonesia Stock Exchange (IDX)) is the result of a merger of the Stock Exchange Jakarta Stock Exchange (JSX) and Surabaya Stock Exchange (SSX). For the sake of operational effectiveness and transactions, the Government decided to merge the Jakarta Stock Exchange as the stock market with the Surabaya Stock Exchange as bonds and derivatives markets. [1] Bursa result of this merger began operations on December 1, 2007. [2] [3]

Stock Exchange trading system called the Jakarta Automated Trading System (JATS) since May 22, 1995, replacing the manual system used previously. [4] Since March 2, 2009 JATS system itself has been replaced with a new system called JATS-NextG provided OMX.

Indonesia Stock Exchange is based in Commerce Regions Sudirman, Jl. Jend. Sudirman 52-53, Senayan, Kebayoran Baru, South Jakarta stock index

To provide more complete information about the development of the stock to the public, disseminate BEI stock price data through print and electronic media. One indicator of stock price movement is the stock price index.

Currently, the BEI has seven kinds of stock index: [5] and that date is set as the anniversary Indonesia stock exchange.

JCI, using all share index was recorded as a component calculations. Sectoral indices, using all the stocks included in each sector.

LQ45 index, using the 45 stocks selected after going through several stages of selection.

Individual index, which is an index for each stock based on the basic price.

Jakarta Islamic Index, an index of Islamic stock trading.

Index Main Board and Development Board, the index based on stocks listed on the Stock Exchange Main Board and the Development Board.
Read more >>

Rabu, 27 April 2011

MENELAAH SEPAK TERJANG BAPEPAM DALAM MEMBERANTAS KEJAHATAN KERAH PUTIH DI PASAR MODAL



MENELAAH SEPAK TERJANG BAPEPAM DALAM MEMBERANTAS KEJAHATAN KERAH PUTIH DI PASAR MODAL.
Read more >>

Bursa Efek Indonesia

Bursa Efek Indonesia (disingkat BEI, atau Indonesia Stock Exchange (IDX)) merupakan bursa hasil penggabungan dari Bursa Efek Jakarta (BEJ) dengan Bursa Efek Surabaya (BES). Demi efektivitas operasional dan transaksi, Pemerintah memutuskan untuk menggabung Bursa Efek Jakarta sebagai pasar saham dengan Bursa Efek Surabaya sebagai pasar obligasi dan derivatif. [1] Bursa hasil penggabungan ini mulai beroperasi pada 1 Desember 2007.[2] [3]
BEI menggunakan sistem perdagangan bernama Jakarta Automated Trading System (JATS) sejak 22 Mei 1995, menggantikan sistem manual yang digunakan sebelumnya.[4] Sejak 2 Maret 2009 sistem JATS ini sendiri telah digantikan dengan sistem baru bernama JATS-NextG yang disediakan OMX.
Bursa Efek Indonesia berpusat di Kawasan Niaga Sudirman, Jl. Jend. Sudirman 52-53, Senayan, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan Indeks saham
Bursa Efek Indonesia, Untuk memberikan informasi yang lebih lengkap tentang perkembangan bursa kepada publik, BEI menyebarkan data pergerakan harga saham melalui media cetak dan elektronik. Satu indikator pergerakan harga saham tersebut adalah indeks harga saham.
Saat ini, BEI mempunyai tujuh macam indeks saham:[5] dan tanggal tersebut di tetapkan sebagai hari jadi bursa efek indonesia.
Bursa Efek Indonesia, IHSG, menggunakan semua saham tercatat sebagai komponen kalkulasi Indeks. Indeks Sektoral, menggunakan semua saham yang masuk dalam setiap sektor.
Indeks LQ45, menggunakan 45 saham terpilih setelah melalui beberapa tahapan seleksi.
Indeks Individual, yang merupakan Indeks untuk masing-masing saham didasarkan harga dasar.
Bursa Efek Indonesia, Jakarta Islamic Index, merupakan Indeks perdagangan saham syariah.
Indeks Papan Utama dan Papan Pengembangan, indeks yang didasarkan pada kelompok saham yang tercatat di BEI yaitu kelompok Papan Utama dan Papan Pengembangan. Bursa Efek Indonesia
Read more >>

Bursa Efek Surabaya

Bursa Efek Surabaya (BES), atau dalam Bahasa Inggris disebut Surabaya Stock Exchange (SSX) adalah bursa saham di Surabaya, Indonesia. Pada 1 Desember 2007 Bursa Efek Surabaya dan Bursa Efek Jakarta melakukan pengabungan usaha yang secara efektif mulai beroperasi pada 1 Desember 2007 dengan nama baru Bursa Efek Indonesia.
Sejarah

Bursa Efek Surabaya BES merupakan bursa efek swasta pertama di Indonesia, yang didirikan pada tanggal 16 Juni 1989 berdasarkan SK Menteri Keuangan Nomor 645/KMK.010/1989, oleh Menteri Keuangan waktu itu JB Sumarlin. Pendirian BES dimaksudkan untuk mendukung perkembangan ekonomi wilayah Indonesia bagian timur, dengan mengembangkan industri pasar modal di Surabaya dan Jawa Timur.

Bursa Efek Surabaya Pada tanggal 22 Juli 1995, BES merger dengan Indonesian Parallel Stock Exchange (IPSX), sehingga sejak itu Indonesia hanya memiliki dua bursa efek: BES dan BEJ.

Bursa Efek Surabaya Pada tahun 2007 BES melakukan merger dengan melebur ke dalam Bursa Efek Jakarta yang selanjutnya berganti nama menjadi Bursa Efek Indonesia. Penggabungan ini menjadikan Indonesia hanya memilki satu pasar modal.
Read more >>

Jumat, 22 April 2011

EFFECT OF OPERATING CASH FLOW TO RETURN RECEIVED



EFFECT OF OPERATING CASH FLOW TO RETURN RECEIVED
BY SHAREHOLDERS
The results show that operating cash flow have an influence
The most significant effect on returns received by shareholders. In
each year, the company that has a negative operating cash flow only
5-6 pieces. PT Suba Indah which consistently has a negative operating cash flow during
three years and PT Bayer Indonesia, which has a negative operating cash flow in
in 2002, it is in the process of cessation of business units
harm, so it can not avoid negative operating cash flow.
Unlike the performance measures earnings, operating cash flow shows
operating results which funds are received in cash by the company and
burdened with a load of cash is actually already excluded
by the company. It could happen income statement shows sales figures
and operating income are high but turned out to be false, because the company
have not received payment of funds selling. Liquidity difficulties caused
many the emergence of bad debt or receivables with credit terms are very
long.
Many companies are also burdened with costs that are non-cash,
that not only the form of depreciation or amortization, but also the interest expense.
Companies that are in the process of debt restructuring with creditors,
keep records of interest based on previous agreements, although there has been no
payment, resulting in the income statement the interest is
payable.
Management of companies and investors realize that the cash flow
better ensure positive operation of the company's capability to run
business activities in the future. Companies are able to
pay dividends to shareholders is a company that has
high earnings and cash at the same time is also sufficient.
When compared with results of previous studies both
performed by Biddle, Bowen and Wallace (1997), and Peixoto (2001)
nor Fernandez (2001), it turns out the results of this study also showed that
EVA is not proven to have superior performance compared to benchmarks
other. There was also a similarity results showed that all standard
performance measurement has a low contribution to the return received
by shareholders. This suggests that many other factors that are
more dominant influence return received by shareholders.
Research Fernandez (2001) revealed that other factors such levels
significant effect on return rates. In addition, previous studies
carried Garvey and Milbourn (2000) revealed that the company
have implemented EVA EVA will have a value that highly correlated
with the return. According Djawahir (2001), this approach has not been widely EVA
applied in enterprises in Indonesia. While in America and in
Europe, most companies have implemented the EVA model. Companies in
Indonesia is aware and willing to use EVA to measure performance
Pradhono, Effect of Economic Value Added, Residual Income
generally only foreign firms or majority-owned by
foreign investors (Djawahir 2003).
Read more >>

PENGARUH ARUS KAS OPERASI TERHADAP RETURN YANG DITERIMA



PENGARUH ARUS KAS OPERASI TERHADAP RETURN YANG DITERIMA
OLEH PEMEGANG SAHAM
Hasil pengujian menunjukkan bahwa arus kas operasi mempunyai pengaruh
yang paling signifikan terhadap return yang diterima oleh pemegang saham. Pada
masing-masing tahun, perusahaan yang memiliki arus kas operasi negatif hanya
5-6 buah. PT Suba Indah yang konsisten memiliki arus kas operasi negatif selama
tiga tahun dan PT Bayer Indonesia yang memiliki arus kas operasi negatif pada
tahun 2002, ternyata sedang dalam proses penghentian unit bisnis yang
merugikan, sehingga tidak bisa menghindarkan arus kas operasi yang negatif.
Berbeda dengan tolok ukur kinerja earnings, arus kas operasi ini menunjukkan
hasil operasi yang dananya telah diterima tunai oleh perusahaan serta
dibebani dengan beban yang bersifat tunai yang benar-benar sudah dikeluarkan
oleh perusahaan. Bisa terjadi laporan laba rugi menunjukkan angka penjualan
dan laba usaha yang tinggi tetapi ternyata bersifat semu, karena perusahaan
belum menerima dana pelunasan penjualan. Kesulitan likuiditas mengakibatkan
banyak timbulnya piutang macet atau piutang dengan term kredit yang sangat
lama.
Banyak perusahaan juga dibebani dengan biaya yang bersifat non tunai,
yang tidak saja berupa penyusutan atau amortisasi, tetapi juga beban bunga.
Perusahaan yang sedang dalam proses restrukturisasi hutang dengan kreditur,
tetap mencatat bunga berdasarkan perjanjian sebelumnya, walaupun belum ada
pembayaran, sehingga mengakibatkan laporan laba rugi dibebani bunga
terhutang.
Manajemen perusahaan maupun para investor menyadari bahwa arus kas
operasi positif lebih menjamin kemampuan perusahaan dalam menjalankan
aktivitas usahanya di masa yang akan datang. Perusahaan yang mampu
membayar dividen kepada pemegang saham adalah perusahaan yang memiliki
earnings tinggi dan sekaligus dana tunai juga cukup.
Apabila dibandingkan dengan hasil penelitian sebelumnya baik yang
dilakukan oleh Biddle, Bowen dan Wallace (1997), maupun Peixoto (2001)
ataupun Fernandez (2001), ternyata hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa
EVA tidak terbukti memiliki superioritas dibandingkan dengan tolok ukur kinerja
lain. Selain itu juga ada kesamaan hasil yang menunjukkan bahwa semua tolok
ukur kinerja mempunyai kontribusi yang rendah terhadap return yang diterima
oleh pemegang saham. Ini menunjukkan bahwa banyak faktor lain yang memang
lebih dominan mempengaruhi return yang diterima oleh pemegang saham.
Penelitian Fernandez (2001) mengungkapkan bahwa faktor lain berupa tingkat
bunga berpengaruh nyata terhadap return. Selain itu, penelitian sebelumnya yang
dilakukan Garvey dan Milbourn (2000) mengungkapkan bahwa perusahaan yang
telah menerapkan EVA akan mempunyai nilai EVA yang berkorelasi tinggi
dengan return. Menurut Djawahir (2001), pendekatan EVA ini belum banyak
diterapkan di perusahaan-perusahaan di Indonesia. Sementara di Amerika dan di
Eropa, kebanyakan perusahaan telah menerapkan model EVA. Perusahaan di
Indonesia yang aware dan mau menggunakan EVA untuk mengukur kinerja
Pradhono, Pengaruh Economic Value Added, Residual Income
umumnya hanya perusahaan asing atau mayoritas sahamnya dimiliki oleh
pemodal asing (Djawahir 2003).
Read more >>

Rabu, 20 April 2011

FASB Convergence with the International Accounting Standards Board (IASB)

FASB and IASB Reaffirm Commitment to Enhance Consistency, Comparability and Efficiency in Global Capital Markets



The FASB has undertaken the following six key initiatives to further the goal of convergence of U.S. GAAP with International Financial Reporting Standards (IFRS):

1. Joint projects being conducted with the IASB. Joint projects are those that standard setters have agreed to conduct simultaneously in a coordinated manner. Joint projects involve the sharing of staff resources, and every effort is made to keep joint projects on a similar time schedule at each Board. Currently, the FASB and IASB are conducting joint projects to address Revenue Recognition and Business Combinations.

Conceptual Framework Project Update

Business Combinations Project Update

Financial Statement Presentation

Revenue Recognition Project Update
2. The short-term convergence project. The short-term convergence project is an active agenda project that is being conducted jointly with the IASB, and it is expected to result in one or more standards that will achieve convergence in certain areas. The scope of the short-term convergence project is limited to those differences between U.S. GAAP and IFRS in which convergence around a high-quality solution appears achievable in the short-term. Because of the nature of the differences, it is expected that a high-quality solution can usually be achieved by selecting between existing U.S. GAAP and IFRS.

Short-Term Convergence Project Update
3. Liaison IASB member on site at the FASB offices. One of the most visible features of the FASB’s daily operations that promotes convergence is the presence of a full time IASB member in residence at the FASB offices. James J. Leisenring, a former FASB Board member, is the IASB member currently filling the role of liaison Board member to the FASB. The role was created to facilitate information exchange and increase cooperation between the FASB and the IASB.

4. FASB monitoring of IASB projects. IASB projects are monitored by the FASB based upon the FASB’s level of interest in the topic being addressed.
Read more >>

International Financial Reporting Standards - IFRS



International Financial Reporting Standards (IFRS) are principles-based Standards, Interpretations and the Framework (1989)adopted by the International Accounting Standards Board (IASB).

Many of the standards forming part of IFRS are known by the older name of International Accounting Standards (IAS). IAS were issued between 1973 and 2001 by the Board of the International Accounting Standards Committee (IASC). On 1 April 2001, the new IASB took over from the IASC the responsibility for setting International Accounting Standards. During its first meeting the new Board adopted existing IAS and SICs. The IASB has continued to develop standards calling the new standards IFRS.

In October 2010, the IASB and the US-based Financial Accounting Standards Board (FASB) each published a document requesting views from stakeholders about the time and effort that will be involved in adopting several new standards and when those standards should be effective. In view of the limited numbers of responses received from users and, for the FASB, private entities, the boards directed the staff to undertake further outreach activities from these groups. (IFRS.org)
Read more >>

SEJARAH IKATAN AKUNTANSI INDONESIA (IAI)

Pembangunan Nasional bertujuan untuk mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata spritiual dan material berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Karenanya, adalah kewajiban bagi setiap warga negara untuk berdarma bakti sesuai dengan profesi dan keahlian masing-masing.

Sejalan dengan itu, pengembangan profesi akuntan ditujukan untuk meningkatkan pengabdian profesi dalam Pembangunan Nasional, yang pada hakekatnya adalah pembangunan manusia Indonesia dan Pembangunan Masyarakat Indonesia. Para akuntan menyadari perlunya dukungan secara sistematis dan tertib demi pemeliharaan serta peningkatan kompetensi profesionalnya, maka merasa perlu untuk dibina, dibimbing, difasilitasi, dan diingatkan secara profesional.

Dalam rangka pembinaan tersebut, perlu adanya wadah yang mewakili akuntan secara keseluruhan, menetapkan standar kualitas, mengembangkan dan menegakkan etika profesi, memelihara martabat dan kehormatan, membina moral dan integritas yang tinggi, mewujudkan kepercayaan atas hasil kerja profesi akuntan dan wadah komunikasi, konsultasi, koordinasi serta usaha-usaha bersama lainnya yang diperlukan. Menyadari akan hal tersebut maka para akuntan bergabung dalam wadah organisasi yaitu Ikatan Akuntan Indonesia.

Pada waktu Indonesia merdeka, hanya ada satu orang akuntan pribumi, yaitu Prof. Dr. Abutari, sedangkan Prof. Soemardjo lulus pendidikan akuntan di negeri Belanda pada tahun 1956.

Akuntan-akuntan Indonesia pertama lulusan dalam negeri adalah Basuki Siddharta, Hendra Darmawan, Tan Tong Djoe, dan Go Tie Siem, mereka lulus pertengahan tahun 1957. Keempat akuntan ini bersama dengan Prof. Soemardjo mengambil prakarsa mendirikan perkumpulan akuntan untuk bangsa Indonesia saja. Alasannya, mereka tidak mungkin menjadi anggota NIVA (Nederlands Institute Van Accountants) atau VAGA (Vereniging Academisch Gevormde Accountants). Mereka menyadari keindonesiaannya dan berpendapat tidak mungkin kedua lembaga itu akan memikirkan perkembangan dan pembinaan akuntan Indonesia.

Hari Kamis, 17 Oktober 1957, kelima akuntan tadi mengadakan pertemuan di aula Universitas Indonesia (UI) dan bersepakat untuk mendirikan perkumpulan akuntan Indonesia. Karena pertemuan tersebut tidak dihadiri oleh semua akuntan yang ada maka diputuskan membentuk Panitia Persiapan Pendirian Perkumpulan Akuntan Indonesia. Panitia diminta menghubungi akuntan lainnya untuk menanyakan pendapat mereka. Dalam Panitia itu Prof. Soemardjo duduk sebagai ketua, Go Tie Siem sebagai penulis, Basuki Siddharta sebagai bendahara sedangkan Hendra Darmawan dan Tan Tong Djoe sebagai komisaris. Surat yang dikirimkan Panitia kepada 6 akuntan lainnya memperoleh jawaban setuju.

Perkumpulan yang akhirnya diberi nama Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) akhirnya berdiri pada 23 Desember 1957, yaitu pada pertemuan ketiga yang diadakan di aula UI pada pukul 19.30.

Susunan pengurus pertama terdiri dari:

Ketua
Prof. Dr. Soemardjo Tjitrosidojo

Panitera
Drs. Mr. Go Tie Siem

Bendahara
Drs. Sie Bing Tat (Basuki Siddharta)

Komisaris
Dr. Tan Tong Djoe
Drs. Oey Kwie Tek (Hendra Darmawan)

Keenam akuntan lainnya sebagai pendiri IAI adalah

1. Prof. Dr. Abutari
2. Tio Po Tjiang
3. Tan Eng Oen
4. Tang Siu Tjhan
5. Liem Kwie Liang
6. The Tik Him

Konsep Anggaran Dasar IAI yang pertama diselesaikan pada 15 Mei 1958 dan naskah finalnya selesai pada 19 Oktober 1958. Menteri Kehakiman mengesahkannya pada 11 Pebruari 1959. Namun demikian, tanggal pendirian IAI ditetapkan pada 23 Desember 1957. Ketika itu, tujuan IAI adalah:

1. Membimbing perkembangan akuntansi serta mempertinggi mutu pendidikan akuntan.
2. Mempertinggi mutu pekerjaan akuntan.

Sejak pendiriannya 49 tahun lalu, kini IAI telah mengalami perkembangan yang sangat luas. Hal ini merupakan perkembangan yang wajar karena profesi akuntan tidak dapat dipisahkan dari dunia usaha yang mengalami perkembangan pesat. Salah satu bentuk perkembangan tersebut adalah meluasnya orientasi kegiatan profesi, tidak lagi semata-mata di bidang pendidikan akuntansi dan mutu pekerjaan akuntan, tetapi juga upaya-upaya untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat dan peran dalam perumusan kebijakan publik.

Misi

*

memelihara integritas, komitmen, dan kompetensi anggota dalam pengembangan manajemen bisnis dan publik yang berorientasi pada etika, tanggungjawab, dan lingkungan hidup;
*

mengembangkan pengetahuan dan praktek bisnis, keuangan, atestasi, non-atestasi, dan akuntansi bagi masyarakat; dan
*

berpartisipasi aktif di dalam mewujudkan good governance melalui upaya organisasi yang sah dan dalam perspektif nasional dan internasional.

Visi

Visi IAI adalah menjadi organisasi profesi terdepan dalam pengembangan pengetahuan dan praktek akuntansi, manajemen bisnis dan publik, yang berorientasi pada etika dan tanggungjawab sosial, serta lingkungan hidup dalam perspektif nasional dan internasional.
Read more >>

Agency Theory: Extreme"Accounting"Ways

Pandangan bahwa akuntansi tidak bebas nilai telah terbukti secara aksiomatik (axiomatic value laden accounting) . Pembuktian awal akuntansi yang sarat dengan pengaruh nilai-nilai dalam masyarakat, dimulai tahun 1980an. Yaitu munculnya paper pada Accounting, Organization and Society, yang ditulis Burchell, Clubb, Hopwood, Hughes dan Nahapiet, berjudul The Roles of Accounting in Organization and Society (Roslender, 1992). Artikel itu kemudian telah memicu penelitian yang lebih jauh, seperti Richardson, Tinker, Merino dan Neimark, dan lain-lain. Dijelaskan Chua (1986), akuntansi bukan hanya dipandang sebagai rasional teknik saja, suatu aktivitas jasa yang terpisah dari hubungan kemasyarakatan.
Ketika dipahami bahwa akuntansi tidak bebas nilai, pertanyaan yang muncul kemudian adalah nilai apa yang terkandung dalam domain akuntansi konvensional saat ini? Perubahan orientasi sebagai penyaji informasi, memang telah terjadi dalam akuntansi konvensional. Mulai dari hanya sebagai metode pencatatan book-keeping (tata-buku) yang dipakai oleh para pedagang di jaman pra-modern. Kemudian, menjelma menjadi salah satu “senjata” yang dipakai oleh Kapitalisme, seperti dijelaskan oleh Weber (2003;101) dalam Andreski (1989:105), sebagai spirit dari kapitalisme, lengkapnya sebagai berikut :
Kapitalisme biasa didapati di manapun pemenuhan kebutuhan-kebutuhan sekelompok manusia dilakukan oleh bisnis swasta. Lebih khusus lagi, suatu bentukan kapitalisme rasional adalah bentukan yang memiliki akuntansi kapital, yaitu suatu bentukan yang berusaha memastikan asset-asset penghasilan-pendapatannya, keuntungannya dan ongkos-ongkosnya melalui kalkulasi menurut metode-metode pembukuan modern.
Hingga, berkembang bukan hanya sebagai alat bantu (tools) dalam dunia bisnis, akuntansi normatif, yang lebih mengarah pada membangun teori akuntansi untuk dapat menjelaskan tujuan dari laporan keuangan perusahaan, (seperti yang dilakukan oleh Belkaoui dan Hendricksen misalnya). Akuntansi dilihat sebagai arus yang mengikuti evolusi dan pendekatan positivistic ilmu ekonomi. Seperti dijelaskan oleh Watts dan Zimmerman (1986), bahwa tujuan akuntansi lebih luas daripada praktek yang selama ini ada, yaitu konsep teori yang didasarkan scientific methodology (metodologi ilmiah), yang bertujuan to explain (menjelaskan) dan to predict (memprediksi) praktek akuntansi. Ini yang disebut oleh Watts and Zimmerman (1986) sebagai Positive Accounting Theory.

AGENCY THEORY: EXTREME “ACCOUNTING” WAYS
Pengembangan akuntansi kontemporer salah satunya adalah digunakannya Agency Theory dalam menjustifikasi akuntansi positif. Agency Theory biasanya dilihat sebagai konflik kepentingan (conflict of interest) dalam akuntansi dan perusahaan. Menurut Baiman (1990) terdapat 3 model hubungan agensi yaitu The Principal-Agent Model, The Transaction Cost Economics Model, The Rochester Model. Ketiganya memiliki dua kerangka kesamaan dan dua perbedaan. Kesamaannya, pertama, ketiganya memahami ketentuan dan penyebab hilangnya efisiensi yang diciptakan oleh divergensi antara perilaku kerjasama dan kepentingan indiividu; kedua, ketiganya menganalisa dan memahami implikasi perbedaan proses pengendalian menghindari hilangnya efisiensi pada masalah agensi. Sedangkan perbedaannya, pertama, menekankan perbedaan sumber-sumber divergensi perilaku kerjasama dan kepentingan individu; kedua, menekankan perbedaan aspek pada agenda riset pada umumnya; ketiga, pemodelanberhati-hati yang mendasari konteks ekonomi yang menyebabkan timbulnyamasalah agensi; keempat, derivasi optimalisasi hubungan kerja dan memahami bagaimana hubungan kerja yang meringankan masalah agensi; kelima, komparasi hasil-hasil untuk melakukan observasi praktik model yang dipakai dan menganalisanya.Artinya dalam kerangka umum model hubungan agensi memperlihatkan bahwa manajer melakukan maksimasi expected utility agar dapat mempengaruhi desain kontrak kerja mereka. Pemilik dan manajer secara bersama dibatasi biaya atas masalah agensi, sehingga memerlukan insentif untuk mendesain kontrak yang mengurangi secara efisien masalah agensi. Dua tokoh utama (principal dan agent) dalam interaksi bisnis tersebut sebenarnya mengarah pada kepentingan yang sama, yaitu wealth, kekayaan.Bentuk ekstrim (extreme ways) dari agency theory sendiri sebenarnya adalah ketika hubungan agensi dijadikan mekanis-matematis untuk kepentingan legitimasi kepentingan “mutualis insklusif “. Bentuknya adalah dengan Portofolio Theory, Beta Theory, Efficient Market Hyphotesis dan Capital Asset Pricing Model, Pecking Order Theory, Modigliani-Miller Theory dan lain sebagainya. Semuanya yang merupakan jargon - jargon hegemonik finance yang diadaptasi dalam Akuntansi positif. Akhirnya, akuntansi menjadi alat yang powerfull untuk memberikan keuntungan yang sebesar-besarnya kepada pemilik modal di satu sisi, juga dapat memberikan manfaat injeksi modal dan investasi yang makin besar dan linier kepada agen dari pemilik modal, yaitu manajemen perusahaan, dalam mengelola perusahaan.


MEMUNCULKAN CINTA DALAM AGENCY THEORY
Ditegaskan oleh Watts (1992) bahwa hubungan agensi kaitannya dengan laporan keuangan perusahaan sangat dipengaruhi oleh kepentingan pasar dan politik. Penjelasan Watts (1992) mengenai teori akuntansi dan realitas empiris ini telah memberikan penegasan bahwa akuntansi merupakan realitas itu sendiri. Realitas tidak dapat digagas dari teori normatif yang unsienctific. Teori yang dibangun dari gagasan normatif bukanlah sebuah kebenaran yang dapat menjadi “main guidance” bagi realitas empiris akuntansi. Main guidance dalam pikiran Watts (1992) adalah realitas empiris yang harus selalu beradaptasi dengan lingkungannya, tidak tetap (tetapi relatif), sebagai hasil interaksi dan keinginan dan egoisme individu (self-interest) yang rasional, baik berbentuk hubungan agensi di dalam market process maupun political process.Berkaitan dengan Redefinisi Konsep Politisasi Akuntansi, Cooper dan Sherer (1984) memang melihat masih terdapatnya kesalahan dalam asumsi dasar akuntansi saat ini yang masih berbasis pada kepentingan shareholders. Menurut mereka kepentingan pemegang saham atau manajemen perusahaan mendominasi konsekuensi ekonomi dari laporan akuntansi meskipun ada pengakuan pada level konseptual atas pendekatan bahwa kelompok lain dalam masyarakat itu ada. Hal ini disebut akuntansi yang berbasis pada economic consequences analysis. Dari pemikiran tersebut mereka kemudian menyetujui pemikiran Tinker (1980) mengenai perlunya perubahan asumsi dasar akuntansi yang berbasis pada political economy of accounting (PEA).Cooper dan Sherer (1984) lebih percaya pada asumsi dasar konflik daripada harmoni yang dapat menjadi tempat bersembunyinya domnasi dan alienasi. Meskipun begitu penekanan realitas yang selalu konflik juga akan mempengaruhi struktur perusahaan yang akan selalu didera dominasi power dan konflik. Artinya bentuk laporan distribusi income, wealth dan power harus selalu dilandasi nilai normatif konflik dan adanya pemaksaan bentuk laporan akuntansi. Meskipun yang mungkin menurut saya sesuai hanyalah asumsi dasar keseimbangan dan emansipasi. Gagasan PEA memang baik dalam cara melakukan perlawanan terhadap dominasi nilai akuntansi yang akut berbasis self-interest dan kooptasi metodologi berbasis statistical context. Positive approach memang menekankan pada prediksi dan ekplanasi, berbeda dengan PEA, atau dapat dikatakan value-free versus value laden. Artinya PEA tidak menolak penekanan normatif, deskriptif, tetapi hal itu merupakan penekanan pada tahapan dan kepentingan penelitian. PEA tidak harus kualitatif dapat pula berbentuk kuantitatif. Dengan syarat setiap metodologi tidak pernah hilang dari masalah value laden. Tawaran alternatif ini memberi gambaran yang lebih konkret bahwa yang paling penting dalam perubahan bukan metodologinya tetapi paradigma dan nilai.Tetapi PEA masih terperangkap dalam realitas empiris yang sarat ‘konflik’ dan ‘politisasi’ kepentingan-kepentingan dengan cara memperluas karakter pelaporan akuntansi dengan mempertimbangkan aspek sosial, ekonomi dan politik. Belum sampai pada karakter penyelamatan kerusakan lingkungan akibat dominasi akuntansi saat ini. Kalaupun dari critical approach yang kemudian memunculkan social accounting dengan bentuk konsep riilnya yaitu corporate social responsibility dengan bentuk laporan keuangan corporate social reporting (misalnya Gray et. al. 1988; Gray et. al. 1995; Gray et. al. 1996; Mook 2003; Mook et. al. 2003; Mook et. al. 2005) sebagai supplant dan bukan supplement dari Imperium Triumvirat Financial Statement (Income Statement, Balance Sheet dan Cashflow). Tetapi ekstensi yang dilakukan PEA maupun social accounting tetap pada konsepsi materi. Perluasannya adalah pada konsepsi pengukuran finansial dan non-finansial. Nilai-nilai non materi tidak pernah terdeteksi. Akuntabilitas dan social welfare yang asasi bukan demi kepentingan masyarakat atau lingkungan saja.Di samping itu PEA belum mendefinisikan “nilai” lebih utuh, tetapi baru meletakkan konsepsi nilai dalam konteks ontologi dan epistemologi. Konteks aksiologis dianggap terpisah meskipun hal itu secara implisit ada. Tetapi nilai aksiologis tidak seharusnya bermakna implisit. Aksiologis memang biasanya berkonotasi kebaikan dan bukannya konflik atau mengakui ketidakseimbangan. Hal ini sama seperti nyanyian Kantata Takwa:
Orang-orang harus dibangunkan,
Aku bernyanyi menjadi saksi
Kenyataan harus dikabarkan,
Aku bernyanyi menjadi saksi

Tetapi lirik lagu Kantata Takwa harusnya mungkin lebih dari itu:
Kebaikan harus ditebarkan,
Kesabaran harus dipelihara,
Kebenaran harus diperjuangkan,
Kita bernyanyi menjadi saksi

Memang kenyataan harus disampaikan. Menyampaikannya harus dalam konteks konflik dan kekuasaan yang hal itu dalam level aksiologis dapat berarti melakukan tindakan yang bermanfaat tetapi tidak etis. Artinya, dalam konteks “nilai aksiologis” akuntansi kritis masih belum menginjak asas etis tetapi baru pada asas manfaat. Berbeda dengan akuntansi positif yang jelas-jelas tidak lagi memakai asumsi aksiologis. Meskipun mereka juga memiliki asumsi aksiologis yang sangat egoistis.Pertanyaannya, apakah mungkin mengembangkan teori agensi yang tidak bersifat formalistik kontraktual dengan konsep reward dan punishment saja, atau mungkin menumbuhkan sikap altruistik saja? Apakah memang bisa bangunan materi harus memberi dampak sosial dan sekaligus spiritual? Apakah materi dapat dibangun dengan hubungan sosial yang lebih arif dan saling berbagi, untuk mencapai kebermaknaan hidup, yaitu CINTA?Hubungan agensi dengan demikian tidak dibangun dari akar self-interest, tetapi dengan cinta. Cinta akan tetap memberi kemanfaatan materi, saling berbagi dan kebermaknaan hidup. Mudahnya, bila konsep kekayaan hanya dipandang sebagai bentuk ekonomi semata, maka yang terjadi adalah konflik kepentingan di atas hubungan kooperatif. Tetapi bila konsep kekayaan dipandang sebagai bentuk trilogi, maka ada proses trust yang masuk dalam mekanisme hubungan, trust yang didasari oleh cinta dan saling berbagi. Gagasan ini memang mirip seperti model principal-agent yang lebih teoritis dan perlu diuji secara empiris, daripada mendekat pada model positivist yang lebih empiris tetapi akan mereduksi konsep teoritis yang sebenarnya penting seperti juga ditegaskan oleh Eisenhardt (1989).
Read more >>

POSITIVE ACCOUNTING THEORY: APAKAH PERLU DIKRITIK?

POSITIVE ACCOUNTING THEORY: APAKAH PERLU DIKRITIK?
OLEH: AJI DEDI MULAWARMAN

ABSTRAKSI
Artikel ini mencoba menelusuri Positive Accounting Theory sebagai salah satu domain yang dominan dalam riset akuntansi, terutama artikel-artikel Watts dan Zimmerman (1978, 1986, 1990) melalui serangan kritik-kritik “positif” maupun “negatif” seperti dilakukan Tinker et.al. (1982), Christenson (1983), Whittington (1987), Sterling (1990), Boland dan Gordon (1992), Gaffikin (2005). Kritik “positif” terhadap Positive Accounting Theory memang hanya berkutat pada tataran metodologis dan untuk kepentingan pragmatism utility of accounting research. Sedangkan kritik “negatif” yang sebenarnya lebih fundamental, pada dataran filosofis (value laden) dan asumsi dasar teoritis (utility maximization), ternyata tidak (atau belum?) dipahami sebagai bentuk relationship of scientific accounting development. Tetapi selalu dipahami sebagai contradiction of scientific accounting development.
Kata kunci: Positive Accounting Theory, Kritik Metodologis, Kritik Filosofis, Kritik Asumsi Dasar Teoritis, Value Laden, Utility Maximization

1. PENDAHULUAN
Positivisme dalam Riset Akuntansi sebenarnya telah lama dilakukan, yang dimulai oleh Beaver (1968). Sedangkan Positive Accounting Theory (selanjutnya disebut PAT), dalam paradigmatic positioning, baru muncul ketika Watts dan Zimmerman meluncurkan artikel penelitiannya tahun 1978. Gagasan yang disampaikan oleh Watts dan Zimmerman merupakan gagasan teori yang sangat fenomenal, monumental sekaligus kontroversial. Banyak pujian muncul terhadapnya, dan akhirnya berujung dijadikannya PAT sebagai paradigma riset yang dominan, riset berbasis studi empiris-kuantitatif.
Tidak kurang pula kritikan dialamatkan kepada mereka. Kritikan, baik yang lebih menekankan pada kritik metodologi, kritik asumsi dasar ekonomi (teoritis), sampai pada kritik asumsi filosofis-sains. Kritikan pedas misalnya disampaikan Sterling (1990), yang mengatakan bahwa PAT tidak memenuhi syarat sebagai Ilmu yang utuh. Tetapi hanya dianggap sebagai Cottage Industry di sisi Periphery Accounting Thought. Atau disebut Tinker et.al. (1982) sebagai Marginalism.
Tulisan ini mencoba untuk melakukan penelusuran kritik-kritik yang dilakukan oleh akademisi di bidang akuntansi terhadap PAT dalam dua periode sebelum dan sesudah, yang dibatasi oleh artikel jawaban dari Watts dan Zimmerman (1990). Dari penelusuran itu akan ditarik benang merah yang muncul dari kritik PAT dan mencoba untuk melakukan evaluasi konstruktif.

2. KRITIK SEBELUM WATTS DAN ZIMMERMAN (1990)
Kritik yang dilakukan Christenson (1983) pada pertanyaan-pertanyaan riset “positif” yang sebenarnya hanya berkaitan dengan ‘sosiologi akuntansi’ bukannya bertujuan untuk membentuk “teori akuntansi”, karena hal tersebut berkaitan dengan deskripsi dan prediksi tentang perilaku para akuntan atau manajer, bukan perilaku ’entitas-entitas akuntansi’. Dan yang paling penting lagi adalah seperti yang disebut Zimmerman (1980) yang mengutip pernyataan Friedman (1953) “untuk membedakan ekonomi positif dan ekonomi normatif”, bahwa kebijakan ekonomi yang ‘benar’ tergantung pada kemajuan ekonomi normatif yang mendukung kemajuan ekonomi positif sehingga teori ekonomi dapat diterima. Friedman tidak menggunakan istilah “teori positif”, tapi dia mengatakan bahwa “tujuan akhir dari ilmu pengetahuan positif adalah perkembangan ‘teori’ atau ‘hipotesis’ yang mampu memprediksi secara valid dan bermakna atas fenomena yang belum diamati. Friedman menunjukkan perbedaan antara sains “positif” dan “normatif” dengan menyatakan bahwa: “sains positif dapat didefinisikan sebagai seperangkat pengetahuan (knowledge) tersistem yang berkaitan dengan “apa itu” (what is); sedangkan sains normatif atau regulatif didefinisikan sebagai seperangkat pengetahuan yang berhubungan dengan kriteria tentang bagaimana seharusnya……”. Konsep “sains positif” mulai populer sejak abad ke-19. Paradigma sains positif sering-kali disebut dengan “positivism”, yang hanya melakukan metode-metode ilmu pengetahuan alam yang memberikan “pengetahuan positif” (positive knowledge) tentang “apa” (what is) (untuk lebih detil dan sebagai pembanding dapat dilihat kritik dari Whitington 1987 misalnya).
Sebenarnya menurut Christenson (1983) memandang ilmu pengetahuan tidaklah harus dipandang dari perbedaan antara normatif dan positif. Tetapi ilmu pengetahuan empiris bisa dipandang sebagai produk (seperangkat pengetahuan atau knowledge yang tersistem) atau sebagai proses (aktivitas manusia dalam menghasil-kan pengetahuan atau knowledge). Para positivis menekankan pandangan bahwa ilmu pengetahuan me-rupakan suatu produk, yang ditunjukkan melalui struktur formal dalam bentuk proposisi empiris. Sementara itu, filsafat ilmu menekankan pada pandangan ilmu pengetahuan sebagai suatu proses. Jadi penekanan yang ingin disampaikan oleh Christenson adalah tidak penting apakah pencapaian ilmu pengetahuan itu dilakukan secara normatif atau positif, semuanya sah-sah saja. Dan semuanya benar. Bahkan pencapaian ilmu pengetahuan juga perlu dilakukan pada satu waktu bersifat normatif dan pada akhirnya bersifat positif. Hanya yang berbeda adalah pencapaian ilmu pengetahuan yang empiris lebih didasarkan pada produk dan proses.
Lebih mendalam lagi kritik PAT yang dilakukan Sterling (1990), dibagi dalam 3 bagian, yaitu Dua Pilar Utama (Studi Fenomena dan Value Free), Asumsi Dasar Ekonomi yang berakar pada Teori Ekonomi Positif, serta Science yang berakar dari Positivisme Logis) dan Pencapaian (Aktual dan Potensial). Kritik ringan Sterling berkaitan dengan penjelasan dan konten (isi) buku mereka yang terbit tahun 1986 yang berjudul POSITIVE ACCOUNTING THEORY. Rasional dari buku ini mengenai posisi scientific dari PAT hanya dijelaskan kurang dari 5% keseluruhan buku. Bab 1 yang terdiri dari 14 halaman dari 362 halaman, yang berkaitan mengapa teori dikatakan scientifik hanya setengahnya. Sehingga Sterling kemudian menjuluki buku ini sebagai Buku Akuntansi Empiris Berbasis Ilmu Ekonomi, bukan Buku tentang Teori Akuntansi. Hal ini terlihat dari parade kronologis studi empiris akuntansi pada Bab 2-13. sedangkan bab 14 merupakan Artikel Watts dan Zimmerman tahun 1979 yang diedit kembali. Sedangkan Bab 15 hanya Summary, Evaluation dan Prospects.
Kritik Sterling (1992) terhadap PAT dalam hal dua pilar utama, dibagi menjadi dua, yaitu studi fenonema dan value free. Studi fenomena sendiri berkaitan dengan penelitian praktik akuntansi, praktik akuntan dan utility maximization. Teori dianggap ilmiah bila berdasarkan praktik, sedangkan teori yang tidak dipraktikkan dianggap tidak ilmiah (semu). Praktik akuntansi didasarkan pada tujuan utama dari PAT, yaitu bahwa tujuan teori akuntansi adalah untuk menjelaskan (to explain) dan memprediksi (to predict). Studi fenomena yang berkaitan dengan praktik akuntan merupakan ekstensi fenomena akuntansi adalah bagaimana manajer membuat keputusan dengan memakai formulae atau mathematical constructions (seperti pada kasus LIFO atau LIFO). Pertanyaan yang muncul kemudian formula mana yang dipakai, kedua adalah mengapa formula tersebut yang dipakai. Fenomena akuntansi dan akuntan hanya diukur melalui mathematical constructions, yang digunakan untuk merepresentasikan bentuk-bentuk (informasi) akuntansi. Konstruk matematis ini dianggap Sterling hanya dapat memotret kata-kata dan angka-angka tanpa dapat melihat bentuk riil (things) dan kejadian (events). Sindiran Sterling (1990, 101) lengkapnya sebagai berikut:
They have fallen in love with pictures (financial statements) without recognizing that they need be images of matters (economic goods)
Sedangkan berkaitan dengan behavior akuntan praktisi, PAT memiliki basic assumption Utility Maximization. Utilitas dalam PAT diasumsikan atau diaproksimasi sebagai income (atau cashflow, wealth, variabel finansial lainnya). Asumsi ini menurut Sterling (1990) tidak selalu benar, misal utilitas dalam pandangan philanthropist bukanlah income, tetapi altruistik. PAT tidak pernah melihat utility maximization di luar kepentingan self-interest, seperti gagasan yang menjadi rujukannya, Chicago School yang tetap melihat dua hal tersebut dalam satu bagian utuh.
Bahkan Ulitily Maximization sebenarnya tidak hanya dapat dijelaskan dalam seluruh perhitungan statistik. Bila setiap manusia memang memiliki utility mazimization seharusnya hasil penelitian adalah 100%. Tetapi kenyataannya pasti ada R2, yang terlihat sebagai bentuk tidak adanya kepentingan Utility Maximization yang 100%. Dari sini diperlukan metode penelitian di luar kuantitatif research yang dapat menjelaskan realitas utility maximization yang bukan hanya dikonstruk dalam bentuk income dan derivasinya, atau bahkan perilaku di luar utility maximization. Sterling misalnya mengusulkan adanya Antropologi Akuntansi, yang melihat fenomena akuntansi bukan hanya dari hasil mathematical constructions yaitu laporan keuangan misalnya (misalya Tinker, et.al. 1982, mengusulkan Historical Materialism).
Tetapi fenomena akuntasi seharusnya juga melihat proses akuntan melakukan proses akuntansi sampai menghasilkan laporan keuangan. Hal ini tidak dapat dilakukan oleh PAT, tetapi dapat dilakukan dalam kerangka sosiologis. Dari konteks seperti itu dapat terlihat motivasi perilaku apakah mengarah pada utility maximization atau tidak, kemudian juga dapat melakukan konfirmasi utuh terhadap realitas atau fenomena akuntansi dengan teori akuntansi yang normatif. Artinya tidak seperti PAT, yang menegasikan Teori Normatif, PAT telah salah dalam menilai Teori Normatif sebagai tidak ilmiah, dan hanya PAT yang ilmiah. Sebagai Newton atau Einstein-pun sebenarnya merumuskan teorinya tidak seluruhnya berasal dari fenomena yang seragam, tetapi juga dapat berasal dari pikiran normatif (misalnya Einstein dengan rumus E=mc2) atau fenomena tunggal (misalnya Newton dengan gagasan Gravity Theory)
Pilar kedua PAT menurut Sterling (1990) adalah Value Free. Value Free menghindari pertanyaan mengenai nilai (menjadi positive atau descriptive) adalah Ilmiah. Sedangkan yang mempertanyakan nilai (normatif) dianggap tidak ilmiah atau teori semu. Science adalah bebas nilai atau positif sedangkan yang sarat nilai atau normatif dianggap tidak ilmiah. Lacunae (bagian yang hilang) dari PAT adalah reduksi teori normatif, dan Positif adalah satu-satunya yang Ilmiah.
Sebenarnya tidak mungkin realitas akuntansi bebas dari aspek normatif, yang dengan demikian sarat dengan nilai. Ketika Watts dan Zimmerman mendefinisikan PAT sebagai textbook, saat itu pula PAT telah menjadi normatif dan Watts dan Zimmerman telah memasukkan nilai bahwa yang benar adalah proses empiris. Realitas empiris sebenarnya mempraktikkan aspek normatif akuntansi, yang kemudian diuji secara statistik (positif) yang kemudian melakukan konfirmasi teori. Sains secara umum memiliki rantai interelasi aktivitas; peneliti mencari dan menemukan teknik yang lebih maju, akademisi mengajarkan teknik tersebut, praktisi mengimplementasikan teknik lebih baik
PAT, lanjut Sterling (1990) dibangun dalam dua asumsi dasar, yaitu Ilmu Ekonomi Positif dan Positifisme Logis. Basis PAT dalam ekonomi seharusnya merujuk pada National Income Accounting. Juga dalam konsep utility, seharusnya merujuk konsep Optimality Pareto yang juga menjadi basis Chicago School. Basis PAT dalam sains merujuk pada positifisme logis. Positifisme sebenarnya adalah turunan langsung dari Positifisme Logis dari Hempel, Passmore, Poincare, dan Popper (hal ini diakui oleh Watts dan Zimmerman). Tetapi mereka sendiri melakukan penolakan terhadap konsep positifisme logis yang dianggap masih banyak kerumitan di dalamnya. Sedangkan penentuan kata positif dirujuk dari ilmu ekonomi yang banyak dipengaruhi oleh positifisme.
Berkaitan dengan pencapaian aktual dan potensial PAT, Watts dan Zimmerman (1986) memulai dengan asumsi bahwa semua orang bertindak untuk memaksimalkan utilitas mereka ketika menyeleksi metode akuntansi. Setelah 350 halaman dari buku PAT mereka menyimpulkan dari temuan empiris utama bahwa para manajer bertindak untuk memaksimalkan utilitas mereka ketika melakukan pemilihan metode-metode akuntansi. Kesimpulan empiris pemilik dan manajer memiliki kepentingan diri sendiri dengan memanipulasi angka akuntansi. Pengalaman itu dihasilkan dalam membangun fungsi auditing (dan membangun banyak komisi regulatori, pengesahan undang-undang, dll). Untuk alasan-alasan ini, masalah-masalh semacam itu telah dijelaskan oleh ahli teori normatif dan lainnya selama puluhan tahun. Hal yang sama dalam Pencapaian Aktual dalam 20 tahun yang akan datang terdapat laporan penelitian bahwa manajer dan atau pemilik cenderung memanipulasi angka. Hal ini sebenarnya juga sudah diprediksi oleh Normative Theory.

3. SESUDAH WATTS AND ZIMMERMAN (1990)
Watts dan Zimmerman tahun 1990 menulis artikel setelah sepuluh tahun keluarnya gagasan mereka tahun 1978 mengenai PAT, dan empat tahun setelah terbitnya gagasan PAT dalam bentuk buku. Artikel Watts dan Zimmerman (1990), disamping melakukan evaluasi perkembangan PAT secara konseptual, juga melakukan tanggapan atas kritik-kritik terhadap PAT.
Meskipun yang banyak dilakukan Watts dan Zimmerman (1990) adalah evaluasi mengenai konsep metodologis, bagaimana perkembangannya sampai saat ini dan pengembangan hipotesis yang dapat menunjang konsep utama PAT, to explain dan to predict. Pengakuan terhadap asumsi filosofis dan asumsi saintifik, sangat tidak konstruktif. Pengakuan bahwa sains tidak bebas nilai sebenarnya telah dipahami oleh Watts dan Zimmerman, meskipun dengan ’agak malu-malu’.
Kritik asumsi dasar PAT sesudah tulisan Watts dan Zimmerman (1990), misalnya datang dari Boland dan Gordon (1992), yang menurut mereka asumsi dasar PAT berasal dari Economic-Based Accounting Theory (1978, p.4; 1986, pp.1 & 13). Atau lebih detil lagi menurut Boland dan Gordon (1992) asumsi Watts Zimmerman tahun 1978, 1979 dan 1980 merupakan penggabungan dari Instrumentalisme dari Milton Friedman. Instrumentalisme menyatakan bahwa teori dan explanation harus dijustifikasi untuk kepentingan usefullness daripada realism. Asumsi Watts dan Zimmerman juga berasal dari Positivisme-nya Paul Samuelson. Teori yang berbasis empiris tidak akan berjalan jika hanya berada pada kondisi ideal. Sedangkan asumsi Watts dan Zimmerman tahun 1986 berasal dari kombinasi Poincare, Hemple dan Popper, yaitu Conventionalism. Conventionalism menyatakan bahwa teori tidak pernah sepenuhnya benar atau salah (never absolutely thrue or false).
Sedangkan kritik Boland dan Gordon (1992) dilakukan dalam tiga asumsi Metodologis, Filosofis, Akuntansi berbasis Ilmu Ekonomi. Pertama, Kritik metodologi seperti dilakukan Lev dan Ohlson (1982) memandang PAT tidak dapat dipakai untuk model yang multiperson, multiperiod equilibria, terdapat kesenjangan antara strategic considerations dan pendekatan game-theory yang dijadikan basis mengembangkan teori formal. Ball dan Foster (1982) memandang validitas konstruk dalam variabel “size” tidak jelas. Houlthausen dan Leftwich (1983) melihat terdapat dikotomi problematik dari variabel dependen yang merepresentasikan persetujuan atau ketidaksetujuan dalam penentuan standar akuntansi. McKee, Bell dan Boatsman (1984) memandang terdapat bias identifikasi statistik dalam studi Watts dan Zimmerman 1978.
Kedua, kritik Filosofis mirip Kritik Value Free dalam Sterling. Banyak penulis mengkritik pembedaan Positif dan Normatif dari Watts dan Zimmerman (Tinker, Merino, dan Neimark 1982; Christenson 1983; Schreuder 1984; Whittington 1987; Whitley 1988). Hal ini seperti dibahas oleh Sterling, yang lebih penting adalah seperti dijelaskan oleh Boland dan Gordon (1992) bahwa PAT berasal dari positivisme ala London School Economics dan Chicago School.
Ketiga, kritik berbasis Ilmu Ekonomi, menurut Boland dan Gordon (1992) beberapa pengkritik melihat keterbatasan penjelasan PAT (Sterling 1990 dan Mouck 1990). Dalam teori ekonomi sendiri, maksimasi kepentingan individu tidak sepenuhnya dilakukan. Hal ini harus juga dipandang bahwa maksimasi juga harus mempertimbangkan maksimasi welfare of society. Inilah yang disebut dengan General Equilibrium dari Chicago School yang dihilangkan dari asumsi Watts dan Zimmerman. Mereka hanya merujuk salah satu gagasan Chicago School terutama tulisan dari George Stigler dan Gary Becker 1977. Terutama pada gagasan penjelasan fenomena sebagai konsekuensi maksimasi utilitas atau secara tidak langsung pada profit atau maksimasi kekayaan. Sehingga segala bentuk model yang dibangun harus memberikan dukungan pada asumsi utama ini. Inilah yang disebut dengan Conventionalisme atau Friedman’s Instrumentalism, yaitu bahwa model merupakan aproksimasi yang baik dari realitas.
PAT memang sampai saat ini masih tidak berubah dari substansi asalnya. Hal ini ditegaskan oleh Gaffikin (2005), bahwa PAT memiliki asumsi sentral yaitu setiap individu selalu memiliki tujuan untuk meningkatkan kepentingan dirinya sendiri. Asumsi ini berasal dari teori ekonomi neo-klasikal. Tujuannya adalah untuk menjelaskan dan memprediksi praktik akuntansi serta mengendalikan perilaku opurtunistik dalam bentuk bonding (seperti restriksi), monitoring (seperti reporting) dan compensation (seperti stock options). Kritik Gaffikin (2005) menyatakan bahwa PAT tidak pernah melakukan preskripsi, tidak bebas nilai, memiliki asumsi keperilakuan yang simplistis, secara scientific mengidap cacat (flawed), dan miskin (atau tidak memiliki) kontribusi praktis akuntansi.

4. EVALUASI KRITIS PAT
Kritik-kritik terhadap PAT sebenarnya merupakan diskursus yang memberikan kontribusi keilmuan akuntansi. Kritik balik Watts dan Zimmerman (terutama dalam kritik filosofis-saintifik) yang dialamatkan kepada mereka, dianggap tidak memiliki kontribusi apapun terhadap praktik akuntansi. Kerangka berpikir Watts dan Zimmerman sepertinya lebih didorong oleh pragmatism utility of knowledge of accounting research. Ukuran yang dipakai oleh Watts dan Zimmerman ditera sesuai dengan kontribusi yang dihasilkan oleh mereka sendiri, yang menurut mereka PAT lebih memberi manfaat langsung. Sedangkan kontribusi yang diinginkan oleh para kritikus memang berbeda, yaitu masuk pada substansi keilmuan akuntansi dan bukan hanya terpenjara dalam praktik akuntansi an sich.
Value Laden
Dalam konteks value laden misalnya, Watts dan Zimmerman memahami pentingnya nilai yang mempengaruhi akuntan. Tetapi Watts dan Zimmerman tetap tidak memahami pengaruh yang muncul ketika nilai sosiologis-psikologis akuntan bersentuhan dengan hasil yang diperoleh oleh akuntan dalam bentuk laporan keuangan misalnya. Dijelaskan Chua (1986), akuntansi bukan hanya dipandang sebagai rasional teknik saja, suatu aktivitas jasa yang terpisah dari hubungan kemasyarakatan. Tetapi, seperti dikatakan oleh Hines (1989), bahwa :
accounting creates and maintains (or can play a part in changing) the social world, is through its reflection and reinforcement of the values of society.
Ketika akuntansi sarat nilai, yaitu ketika akuntansi konvensional masih didominasi world-view Barat, yang terjadi dalam karakter akuntansi pasti bernilai kapitalisme, sekuler, egois, anti-altruistik. Hameed (2000a) menggambarkan, bahwa tujuan akuntansi sebagai decision usefulness untuk investor dan kreditor yang berorientasi pada pasar modal berasal dari world-view materialisme dan norma-norma ekonomi kapitalisme. Hal ini ditegaskan Harahap (2001, 305-306), bahwa akuntansi barat dibangun atas dasar filsafat materialisme-sekulerisme hasil pemikiran manusia tanpa campur tangan Allah.
Bila ditelusuri lebih jauh, akar pemikiran akuntansi konvensional tersebut berasal dari substansi Ilmu Ekonomi, yang berprinsip pada self-interest (lihat misalnya pemikiran Soros 2002 hal 140 ). Self-interest adalah representasi substansi pandangan dunia (world-view/paradigma) Barat yang sekuler dan kapitalistik.
Sekularisme adalah bentuk 3 penegasian, yaitu penegasian kekuasaan dan kekuatan di luar manusia (anthropocentrism), hilangnya nilai-nilai non-materi (materialism) dan penolakan terhadap certainty condition (relativism) (lebih jauh lihat Al-Attas 1981). Ketika sekularisme telah muncul di awal pembentukannya di kalangan Barat setelah Renaissance dan Revolusi Ilmiah serta Revolusi Teknologi. Diakui sendiri oleh kalangan Barat, bahwa sekularisme telah keluar dari domain religi, dan telah bermakna sosiologis (lihat misalnya sosiologi sekularisasinya Glasner 1992). Sekularisme dalam akuntansi, ketika melihat akuntansi modern hanya memiliki sifat materialisme. Seperti terlihat dalam laporan keuangan yang hanya memberikan informasi tentang aktivitas perusahaan yang bersifat materi dan diukur dalam unit uang, atau singkatnya menyajikan realitas materi saja.
Pemikiran kapitalisme seperti dijelaskan panjang lebar oleh Fukuyama (2003) seorang pemikir politik beraliran Neo-Hegelisme, menyebutkan manusia adalah seperti binatang yang memiliki kebutuhan alami dan hasrat terhadap benda di luar dirinya seperti makanan, minuman, tempat berlindung, dan segala sesuatu yang mempertahankan fisiknya. Namun, lanjut Fukuyama, manusia berbeda secara fundamental dari binatang, karena disamping manusia memiliki hasrat terhadap orang lain, ia juga ingin “diakui” oleh orang lain, terutama dia ingin diakui sebagai manusia dengan martabat dan penghargaan tertentu. Penghargaan, menurut Fukuyama adalah pertama yang berhubungan dengan keinginannya untuk mempertaruhkan kehidupannya demi perjuangan memperoleh prestise yang lebih baik. Karena hanya manusia, lebih lanjut Fukuyama menjelaskan, yang mengatasi instink hewan untuk mencapai prinsip-prinsip tujuan yang lebih abstrak dan tinggi. Tujuan dalam peperangan berdarah pada awal sejarah bukanlah makanan, tempat berlindung atau keamanan, tetapi semata-mata untuk prestise. Sehingga yang muncul kemudian adalah takut matinya seseorang atas orang lain, dan akhirnya muncul yang dinamakan sebagai “tuan” dan “budak”. Berdasarkan filosofi inilah kemudian kapitalisme berkembang, seperti yang dijadikan landasan Weber, melegitimasi kapitalisme sebagai rasionalisasi kemajuan dan perbaikan manusia dalam mengarungi dunia. Weber (2003) telah mengarahkan bagaimana Akuntansi sebagai alat dari para pemilik modal untuk melegitimasi, mencatat dan mempertahkan kepentingan pribadinya. Ketika perusahaan sebagai pusat modal dan simbol kekuasaan, berkembang dengan pemisahan antara pemilik modal dan manejemen, maka yang terjadi sebenarnya bukanlah konflik kepentingan dalam teori agensi. Dalam domain akuntansi, pengaruh kapitalisme dijelaskan oleh Hines (1989), pertama, bahwa fungsi-fungsi akuntansi berjalan di dalam lingkungan pasar kompetitif dan yang kuat yang akan bertahan. Pasar diarahkan pada the invisible hand kompetisi bebas, perusahaan yang paling efisien yang paling profitable dalam terminologi akuntansi. Kedua, asumsi produsen dan pengguna informasi akuntansi bertindak rasional, yang menurut Hines merupakan terminologi yang dibangun dari tradisi self-interest yang berdampak pada survival of the fittest. Sehingga berakibat pada studi-studi akuntansi yang kurang memperhatikan aspek eksternalitas. Dan ketiga, lebih mementingkan shareholders dan creditors, dimana hanya hak kepemilikan (property rights) riil yang dianggap eksis, dan cenderung mereduksi hak-hak masyarakat lainnya yang sarat dengan nilai.
Dua hal itulah (sekularisme dan kapitalisme) yang kemudian mengarahkan pemikiran manusia Barat menjadi terobsesi dengan dirinya sendiri. Muncul dalam bentuk pondasi ekonomi Barat yang berprinsip pada Self-Interest. Dengan prinsip utama self-interest, berdampak pada kepentingan perusahaan yang berorientasi stockholders atau shareholders. Kepentingan tersebut adalah bentuk penegasian kekuatan di luar dirinya dan tidak berlakunya nilai etis. Serta mengarahkan konteks ekonomi yang selalu berada pada kondisi ketidakpastian yang mutlak, dan tidak bermanfaatnya eksternalitas kecuali berdampak langsung terhadap dirinya. Ujung-ujungnya, adalah rekayasa kepentingan manusia yang harus selalu memikirkan untuk dapat hidup dalam kepuasan dan kesenangan (laissez-faire ). Dampak lanjutan dari self-interest dalam akuntansi, mengarah pada laporan keuangan, informasi serta akuntabilitas pada shareholders maupun stockholders (lihat misalnya Triyuwono 2000; Hameed 2000b; Harahap 2002). Bentuk riilnya terpampang dalam Laporan Laba Rugi/Income Statement, dengan akhir perhitungan, berupa Laba (earnings-based oriented).
Mathematical Constructions
Di samping itu, teori akuntansi, menurut Sterling (1990) bukan hanya reduksi informasi akuntansi menjadi mathematical constructions, tetapi juga berhubungan dengan things dan events. Bila memang asumsi akuntansi mirip studi kealaman, dengan demikian perlu penggeseran tradisi keilmuan menjadi cabang ilmu matematika dan teknik, menjadi penting S-Matrix Theory dari Geoffrey Chew yang merupakan gagasan teknis dari Filsafat Bootstrap. Filsafat Bootstrap (Capra 2000) adalah teori puncak fisika kuantum dan relativitas, dengan kesadaran kesalinghubungan esensial dan universal, memperoleh unsur dinamisnya dari teori realitivitas dan dirumuskan dalam konteks probabilitas reaksi dalam S-Matrix Theory. S-Matrix Theory yang menggabungkan konsep Kuantum dan Relativitas layak dipertimbangkan untuk memahami sifat-sifat informasi akuntansi sebagai representasi simbolik reaksi partikel (investor) yang dideskripsikan dalam konteks kecepatan (momentum) investor ‘bermain’ di bursa saham.
Tetapi, sekali lagi, apakah mungkin S-Matrix Theory kemudian hanya terpakai secara parsial dalam Teori Akuntansi Positif, seperti yang terjadi dalam pemakaian asumsi dasar teoritis ekonomi Neo-Klasik yaitu konsep utility maximization dari Chicago School, MIT, Harvard ataupun London School of Economics. Utility maximization yang hanya dipakai sampai pada taraf kepentingan pemilik modal dan menegasikan asumsi lanjutan yang bersifat Keseimbangan Pareto? Karena S-Matrix Theory mensyaratkan empat postulat (prinsip umum) yang membatasi kemungkinan matematis untuk mengkonstruksi elemen matriks S sehingga memberikan suatu struktur tertentu pada matriks S.
Prinsip pertama, berasal dari teori relativitas, yaitu bahwa probabilitas-probabillitas reaksi mesti tak tergantung (Independensi) pada perpindahan peralatan eksperimental dalam ruang dan waktu, tak bergantung pada orientasinya dalam ruang dan tergantung pada keadaan gerak dari pengamat. Independensi suatu reaksi partikel terhadap orientasi dan perpindahannya dalam ruang dan waktu menyiratkan kekelan jumlah total rotasi, momentum dan energi yang terlibat dalam reaksi. Simetri ini sangat mendasar bagi aktivitas ilmiah.
Prinsip kedua, berasal dari teori kuantum, bahwa hasil reaksi tertentu hanya dapat diprediksi dalam konteks probabilitas, dan lebih jauh lagi, jumlah probabilitas untuk seluruh hasil yang mungkin – termasuk ketika tak terjadi interaksi antar partikel – harus sama dengan satu. Dengan kata lain, kita bisa memastikan apakah partikel-partikel ini akan berinteraksi satu sama lain, atau tidak sama sekali. Prinsip ini dinamakan prinsip uniter yang secara tegas membatasi kemungkinan-kemungkinan untuk menyusun elemen matriks S.
Prinsip ketiga dan keempat, terkait dengan gagasan tentang sebab akibat (prinsip kasualitas). Prinsip ini menyatakan bahwa energi dan momentum berpindah melalui jarak-jarak spasial hanya melalui partikel-partikel, dan perpindahan energi dan momentum ini terjadi sedemikian sehingga sebuah partikel dapat tercipta dalam suatu reaksi dan musnah dalam reaksi lainnya hanya jika reakis yang terakhir terjadi setelah reaksi sebelumnya. Rumusan matematis dari prinsip energi dan momentum dari partikel-partikel yang terlibat dalam suatu rekasi, kecuali untuk nilai-nilai dimana penciptaan partikel-partikel yang baru menjadi mungkin. Pada nilai-nilai itu, struktur matematis dari Matriks S berubah secara tiba-tiba; menjumpai apa yang disebut matematikawan sebagai singularitas
Ulitity Maximization
Kemudian, berkaitan dengan reduksi positifisme logis atas ekuilibrium dan definisi utility maximization yang masih dipahami sebagai approximation dalam bentuk income, cashflow, abnormal return dan lainnya. Watts dan Zimmerman masih tidak menginginkan adanya bentuk lain dari utility maximization seperti pandangan filantropis, misalnya distribusi kesejahteraan atau value added. Atau mungkin di luar utility maximization yang tidak ter’cover’ dalam asumsi dasar economic based accounting theory. Seperti konsep mandatory-charity atau dalam bahasa budaya asli kita, shadaqah, infaq dan zakat yang tidak (belum) dipahami dengan utuh dalam konsep Kapitalisme, Materialisme dan Anthropocentrism (Self-Interest) yang merupakan substansi dari konsep utility maximization Chicago School, MIT, Harvard ataupun London School of Economics.

5. CATATAN AKHIR
Benarlah kemudian ketika Suwardjono (2005, 32-34; 482-495) yang meletakkan pembahasan mengenai PAT sebagai bagian dari Akuntansi dalam Tataran Pragmatik. Tataran Pragmatik dalam teori komunikasi berkepentingan untuk menentukan apakah pesan sampai kepada penerima dan mempengaruhi perilaku yang dituju. Teori akuntansi pragmatik memusatkan perhatiannya pada pengaruh informasi terhadap perubahan perilaku pemakai informasi akuntansi. Apakah akhirnya pihak pemakai informasi tersebut untuk dasar pengambilan keputusan merupakan masalah usefulness informasi. Hal ini ditunjukkan dengan adanya asosiasi antara angka akuntansi atau peristiwa (event) dengan return, harga atau volume saham di pasar modal
Sebenarnya kontribusi keilmuan akuntansi tidak hanya bersifat pragmatis saja, tetapi harus selalu dalam bentuk multidimensi dan multi arah. Tidak hanya bersifat linier dan selalu dependensi satu arah atau beberapa arah yang membentuk parsial utility. Kontribusi haruslah integrated utility, yang dengan itu maka akuntansi tidak terjebak pada konteks pragmatis saja dengan ambil teori sana, ambil teori sini.
Akuntansi bukanlah “bangunan mati” yang dapat didirikan oleh batu batu, semen, pasir, cat yang semuanya berasal dari benda mati. Tetapi bila ingin menjadi ilmu yang kokoh, seharusnya mengarah menjadi “pohon hidup” keilmuannya sendiri. Struktur keilmuan akuntansi yang memiliki akar kuat, ke dalam, memiliki batang yang kokoh, cabang dapat memberikan tempat bagi daun dan buah untuk tumbuh, serta bermanfaat dan bagi lingkungan serta entitas di luarnya.

DAFTAR REFERENSI
Al-Attas, Syed Muhammad Al Naquib, 1981. Islam dan Sekularisme. Terjemahan. Penerbit Pustaka. Bandung.
Boland Lawrence A, Irene M. Gordon. 1992. Criticizing Positive Accounting Theory. Contemporary Accounting Research. 9(1). pp. 142-170
Chua Wai Fong. 1986. Radical developments in accounting thought. The Accounting Review. LXI (4): 601-32.
Capra, Fritjof. 2000. The Tao of Physics: An Exploration of the Parallels between Modern Physics and Eastern Mysticism. 4th edition. Shambala Publications, Inc. Boston.
Christenson, Charles. 1983. The Methodology of Positive Accounting. The Accounting Review. LVIII (1) pp 1-22.
Fukuyama. Francis F. 2003. The End of History and The Last Man. Terjemahan. Pustaka Kalam. Yogyakarta.
Gaffikin, 2005. Positive Accounting: Where About?. Notes for an Introduction to Theoritical Foundations of Research. The First Postgraduate Consortium on Accounting. Brawijaya University. March, 1, 2005.
Glasner, E. 1992. Sosiologi Sekularisasi Suatu Kritik Konsep. Terjemahan. Tiara Wacana, Yogyakarta.
Hameed, Shahul. 2000a. From Conventional Accounting to Islamic Accounting: Review of the Development Western Accounting Theory and its Implications for and Differences in the Development of Islamic Accounting. www.islamic-finance.com
Hameed, Shahul. 2000b. A Review of Income and Value Measurement Concepts in Conventional Accounting Theory and Their Relevance to Islamic Accounting. www.islamic-finance.com
Harahap, Sofyan S. 2001. Menuju Perumusan Teori Akuntansi Islam. Pustaka Quantum. Jakarta.
Harahap, Sofyan S. 2002. Teori Akuntansi. Edisi Revisi. Rajawali Press. Jakarta.
Hines, Ruth D. 1989. The sociopolitical paradigm in financial accounting research. Accounting, Auditing and Accountability Journal 2 (1): 52-76.
Sardar, Ziauddin. 1987. Masa Depan Islam. Terjemahan. Penerbit Pustaka. Bandung.
Soros, George. 2002. Krisis Kapitalisme Global : Masyarakat Terbuka dan Ancaman Terhadapnya. Terjemahan. Qalam. Yogyakarta.
Sterling, Robert R. 1990. Positive Accounting: An Assessment. ABACUS. 97-135.
Suwardjono. 2005. Teori Akuntansi: Perekayasaan Pelaporan Keuangan. Edisi Ketiga. BPFE Yogyakarta.
Tinker, Anthony M., Barbara D. Merino, Marilyn Dale Neimark. 1982. The Normative Origins of Positive Theories: Ideology and Accounting Thought. In Accounting Theory: A Contemporary Review. Jones, Stewart., C. Romano, J. Ratnatunga (ed.). 1995. Harcourt Brace. Australia.
Triyuwono, Iwan. 2000a. Organisasi dan Akuntansi Syari’ah. LkiS. Yogyakarta.
Watts, Ross L., Jerold L. Zimmerman. 1990. Positive Accounting Theory: A Ten Year Perspective. The Accounting Review. 65(1). pp. 131-156.
Weber, Max., 2003. Etika Protestan dan Semangat Kapitalism. Terjemahan. Pustaka Promothea. Jakarta.
Whitington. 1987. Positive Accounting: A Review Article. Accounting and Business Research. 17(68). pp 327-336.





Read more >>

Selamat Datang para Akuntan Indonesia

Weblog ini akan membantu kita dalam mencari informasi seputar dunia Akuntansi.
Selamat Bergabung!!
Read more >>