Jumat, 22 April 2011
PENGARUH ARUS KAS OPERASI TERHADAP RETURN YANG DITERIMA
PENGARUH ARUS KAS OPERASI TERHADAP RETURN YANG DITERIMA
OLEH PEMEGANG SAHAM
Hasil pengujian menunjukkan bahwa arus kas operasi mempunyai pengaruh
yang paling signifikan terhadap return yang diterima oleh pemegang saham. Pada
masing-masing tahun, perusahaan yang memiliki arus kas operasi negatif hanya
5-6 buah. PT Suba Indah yang konsisten memiliki arus kas operasi negatif selama
tiga tahun dan PT Bayer Indonesia yang memiliki arus kas operasi negatif pada
tahun 2002, ternyata sedang dalam proses penghentian unit bisnis yang
merugikan, sehingga tidak bisa menghindarkan arus kas operasi yang negatif.
Berbeda dengan tolok ukur kinerja earnings, arus kas operasi ini menunjukkan
hasil operasi yang dananya telah diterima tunai oleh perusahaan serta
dibebani dengan beban yang bersifat tunai yang benar-benar sudah dikeluarkan
oleh perusahaan. Bisa terjadi laporan laba rugi menunjukkan angka penjualan
dan laba usaha yang tinggi tetapi ternyata bersifat semu, karena perusahaan
belum menerima dana pelunasan penjualan. Kesulitan likuiditas mengakibatkan
banyak timbulnya piutang macet atau piutang dengan term kredit yang sangat
lama.
Banyak perusahaan juga dibebani dengan biaya yang bersifat non tunai,
yang tidak saja berupa penyusutan atau amortisasi, tetapi juga beban bunga.
Perusahaan yang sedang dalam proses restrukturisasi hutang dengan kreditur,
tetap mencatat bunga berdasarkan perjanjian sebelumnya, walaupun belum ada
pembayaran, sehingga mengakibatkan laporan laba rugi dibebani bunga
terhutang.
Manajemen perusahaan maupun para investor menyadari bahwa arus kas
operasi positif lebih menjamin kemampuan perusahaan dalam menjalankan
aktivitas usahanya di masa yang akan datang. Perusahaan yang mampu
membayar dividen kepada pemegang saham adalah perusahaan yang memiliki
earnings tinggi dan sekaligus dana tunai juga cukup.
Apabila dibandingkan dengan hasil penelitian sebelumnya baik yang
dilakukan oleh Biddle, Bowen dan Wallace (1997), maupun Peixoto (2001)
ataupun Fernandez (2001), ternyata hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa
EVA tidak terbukti memiliki superioritas dibandingkan dengan tolok ukur kinerja
lain. Selain itu juga ada kesamaan hasil yang menunjukkan bahwa semua tolok
ukur kinerja mempunyai kontribusi yang rendah terhadap return yang diterima
oleh pemegang saham. Ini menunjukkan bahwa banyak faktor lain yang memang
lebih dominan mempengaruhi return yang diterima oleh pemegang saham.
Penelitian Fernandez (2001) mengungkapkan bahwa faktor lain berupa tingkat
bunga berpengaruh nyata terhadap return. Selain itu, penelitian sebelumnya yang
dilakukan Garvey dan Milbourn (2000) mengungkapkan bahwa perusahaan yang
telah menerapkan EVA akan mempunyai nilai EVA yang berkorelasi tinggi
dengan return. Menurut Djawahir (2001), pendekatan EVA ini belum banyak
diterapkan di perusahaan-perusahaan di Indonesia. Sementara di Amerika dan di
Eropa, kebanyakan perusahaan telah menerapkan model EVA. Perusahaan di
Indonesia yang aware dan mau menggunakan EVA untuk mengukur kinerja
Pradhono, Pengaruh Economic Value Added, Residual Income
umumnya hanya perusahaan asing atau mayoritas sahamnya dimiliki oleh
pemodal asing (Djawahir 2003).
Referensi:
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar