Rabu, 11 Mei 2011

AKUNTANSI SYARIAH: PENGANTAR (Bagian Dua)

1. Pendahuluan: Pemahaman Filosofis Organisasi Bisnis

Ketika pembentukan dan aktivitas organisasi dan institusi bisnis dilakukan dalam perspektif Islam, tetapi menggunakan akuntansi konvensional yang memiliki basis filosofis yang berbeda dengan Islam, maka seperti digambarkan Hameed (2000b), hal itu akan menyebabkan inkonsistensi dan penyimpangan perilaku dari pengguna muslim, mengarah kembali pada tujuan utama dari ekonomi barat yang sekuler dan kapitalistik (lihat juga Harahap 2000, 194-206).

Dalam konteks organisasi, akuntansi diarahkan kepada perspektif syari’ah. Konstruksi dan mekanisme yang muncul dalam organisasi bisnis semestinya memiliki perspektif sama dengan akuntansi yang diterapkan. Ketika organisasi bisnis memiliki perspektif kapitalistik (melakukan maksimalisasi keuntungan/laba), otomatis akuntansi yang muncul pasti akan berisi nilai-nilai kapitalistik. Begitu pula sebaliknya, ketika organisasi bisnis memiliki perspektif syari’ah, tidak diarahkan pada kepentingan laba an sich. Sehingga, diperlukan media pertanggungjawaban keuangan yang berdasarkan pada nilai-nilai Islam (Islamic Values) dan tujuan syari’ah (Maqasid Syari’ah).

2. Nilai-nilai Islam (Islamic Values)

Esensi peradaban Islam adalah Islam itu sendiri, dan esensi Islam adalah Tauhid atau pengeesaan Tuhan, tindakan yang menegaskan Allah sebagai yang Esa, Pencipta yang mutlak dan transenden. (Al-Faruqi, 16). Yang digambarkan oleh Iqbal (1966, 3) seperti burung yang tak berjejak dan tidak dituntun oleh pikiran (intelek), dan juga bukan hanya perasaan. Tauhid adalah konsep kunci dalam Islam (Siddiqi 1989). Tauhid yang memberikan identitas pada peradaban Islam yang mengikat semua unsur-unsurnya bersama-sama dan menjadikan unsur-unsur tersebut suatu kesatuan yang integral dan organis yang disebut peradaban (Al-Faruqi, 16). Hal tersebut semuanya adalah untuk proses transformasi Islami pada individu ataupun masyarakat (Siddiqi 1989). Pengikat dari ketentuan-ketentuan yang disyari’atkan dan etika manusia dalam melaksanakan aktivitas duniawi. Integralitas dan organisnya Tauhid yang menjadi dasar dari terbentuk dan dibentuknya peradaban manusia dalam Islam ini ditunjukkan dalam titah Tuhan dalam Al-Qur’an:

Bukanlah menghadapkan wajahmu ke timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan memerdekakan hamba sahaya, mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan menepati janji bila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa. (QS. 2:177)

Ayat di atas adalah bentuk keterikatan segala sesuatu yang menjadi kaidah normatif Ketuhanan sekaligus realitas yang harus dijalankan oleh setiap manusia yang disebut oleh Allah sebagai kebajikan dan ketakwaan. Hal ini yang dikatakan oleh Al-Faruqi (1995, 17) sebagai segala sesuatu perintah dalam Islam, baik perintah yang berkaitan dengan kewajiban maupun aspek moralitas dalam Islam, yang bisa dilepaskan dari Tauhid. Bahwa mengisi aliran ruang dan waktu atau mentransformasikan ciptaan, tegas Al Faruqi (1995, 35) diharapkan dari seorang muslim yang muttabi’ (terikat). Setelah menerima Tuhan sebagai satu-satunya Yang Maha Tuan sebagai bentuk kepasrahan tanpa reserve dalam bentuk Keimanan pada Allah. Dilanjutkan dengan kepatuhan untuk menjalankan syari’atnya, sebagai bentuk penyerahan diri, dalam wujud nyatanya sebagai ‘abd Allah:

Dan tidak Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembahKu. (QS: 51:56).

Dan hendaknya kamu menyembahKu. Inilah jalan yang lurus (QS. 36:61).

Hidup dan seluruh energinya untuk mengabdi kepada-Nya. Seperti yang selalu diingatkan oleh Allah dalam bacaan shalat lima waktu kita:

Katakanlah: Sesungguhnya, shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan seru sekalian alam.

(QS. 6: 162)

Diingatkan pula oleh Allah, bukan hanya pada yang beriman saja, tetapi kepada seluruh umat manusia, bahwa ibadah adalah bentuk kepasrahan manusia untuk menempuh ketakwaan:

Hai seluruh manusia, beribadahlah kepada Tuhan kamu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelum kamu, agar kamu bertakwa (QS. 2: 21)

Ibadah adalah suatu bentuk kepatuhan dan ketundukan yang berpuncak pada sesuatu yang diyakini menguasai jiwa raga seseorang dengan penguasaan yang arti dan hakikatnya tidak terjangkau (Shihab 2005, 119). Ada tiga hal yang menandai keberhasilan seseorang mencapai hakikat ibadah kepada Tuhan (Shihab 2005, 119). Pertama, manusia tidak menganggap apa yang berada dalam genggaman tangannya sebagai milik pribadinya, tetapi milik Allah tempat dia mengabdi. Kedua, segala aktivitasnya hanya berkisar pada apa yang diperintahkan oleh siapa yang kepada-Nya ia mengabdi serta menghindar dari apa yang dilarang-Nya. Ketiga, tidak memastikan sesuatu untuk dia laksanakan atau hindari kecuali dengan mengaitkannya dengan kehendak siapa yang kepada-Nya ia mengabdi.

Setelah mengakui kehendak Sang Penguasa Alam Semesta sebagai kehendak yang harus diaktualisasikan dalam ruang dan waktu. Dia mesti terjun dalam hiruk pikuknya dunia dan sejarah, menciptakan perubahan yang dikehendakinya, dengan amal yang sebaik-baiknya, sebagai wakil Allah di bumi (Khalifatullah fil ardh).

Dialah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di muka bumi.

(QS. 35:39).

Nilai-nilai Islam yang berpedoman pada Vestigia Dei (jejak-jejak Ilahi) di atas itulah yang mengarah pada koeksistensi tujuan utama manusia. Hal itu untuk membedakan koeksistensi alam dan manusia. Ketika manusia memiliki sifat yang sama dengan alam, maka tidak bergunalah koeksistensi tujuan manusia, yang dengan itu maka manusia tidak berbeda dengan ciptaan Tuhan lainnya di alam semesta ini. Ketika manusia memiliki sifat yang berbeda dengan alam, maka menjadi bergunalah koeksistensi tujuan manusia. Dari hal itulah kemudian mengapa Tuhan memberikan kewenangan dan kedudukan yang lebih tinggi dari siapapun ciptaan-Nya.

Ditegaskan oleh Naqvi (2003, 38):

Bentuk ketundukan manusia pada Tuhannya, malahan akan membantu manusia merealisasikan potensi teomorfiknya, juga membebaskannya dari perbudakan manusia. Dengan mengintegrasikan aspek-aspek religius, sosial, ekonomi dan politik, kehidupan manusia ditransformasikan ke dalam suatu keutuhan, yang selaras, konsisten dalam dirinya dan menyatu dengan alam luas. Dengan demikian, manusia bisa mencapai harmoni sosial dengan meningkatkan rasa memiliki dan persaudaraan universal.

Koeksistensi tujuan manusia dengan demikian adalah dalam rangka pengabdian kepada Allah (Abdullah/abdi Allah) dan menjadi wakil Allah di bumi (Khalifatullah fil ardh/wakil Allah di bumi). Abdullah (Shihab 2000, 22-23; Jalaluddin 2001, 28-29, 52-60, 119; Rahardjo 1994, 36-43; Hasanah, 2002; Basyir 2001; Rahman 1996, 12; Al-Attas 1981, 205; Chapra 1995, 7) adalah realisasi tujuan Ketuhanan manusia untuk selalu menjalankan ibadah kepada Allah. Memiliki tujuan hidup yang asali dan akhir untuk mengabdikan dirinya kepada Tuhan dan terkait langsung, integratif dan organis dengan fungsinya sebagai Khalifatullah fil Ardh. Yaitu realisasi tujuan kealaman manusia untuk memelihara dan mengelola alam semesta milik Tuhan. Manusia diberi amanah untuk memberdayakan seisi alam raya dengan sebaik-baiknya demi kesejahteraan seluruh makhluk. Seperti yang dituliskan dalam Al Qur’an:

Orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi ini, niscaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang ma’ruf dan mencegah perbuatan yang munkar (QS. 22: 41)

Ayat tersebut, menyatakan bahwa mendirikan shalat merupakan refleksi hubungan (pengabdian) dengan Allah SWT. Menunaikan zakat merupakan refleksi keharmonisan hubungan dengan sesama manusia, sedangkan ma’ruf berkaitan dengan segala sesuatu yang dianggap baik oleh agama, akal, serta budaya dan munkar adalah sebaliknya. Dengan demikian, sebagai seorang khalifah Allah di muka bumi, manusia mempunyai kewajiban untuk menciptakan masyarakat yang hubungannya dengan Allah baik, kehidupan masyarakatnya harmonis. Serta agama, akal dan budayanya terpelihara (Shihab 1994, 166).


3. Tujuan Syari’ah (Maqasid Syari’ah)

Untuk melaksanakan koeksistensi tujuan manusia, maka Allah telah memberikan perangkat-perangkat aturan/hukum/syari’at Islam, yang bersumber pada Al Qur’an dan Sunnah. Sumber hukum/Syari’at yang menjelaskan perihal sistem keyakinan dan sistem nilai (Mas’udi 1995).

Allah SWT menegaskan bahwa Al Qur’an diturunkan sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa (beriman, melaksanakan shalat, menafkahkan sebagian rezeki), merekalah yang disebut oleh Allah sebagai orang-orang yang beruntung (QS. 2: 2-5). Bertaqwa dalam segala aktivitas kehidupannya termasuk dalam aktivitas ekonomi (muamalah) (Ibad 2003). Al Qur’an adalah kitab yang tidak mempunyai tujuan lain kecuali membimbing manusia kepada kebahagiaan. Ia mengajarkan kepercayaan sejati, akhlak yang mulia dan perbuatan-perbuatan yang benar, yang merupakan dasar-dasar kebahagiaan individu dan sosial umat manusia. Al Qur’an menyuguhkan ajaran-ajaran Islam dalam bentuk ringkasan, yang rinciannya berkaitan dengan hukum, merujuk pada Rasulullah saw. Ajaran Islam, baik dan Al Qur’an maupun dalam haditsnya, tidak pernah memberi petunjuk tentang bentuk-bentuk, terlebih menyangkut teknis usaha dan bisnis apa yang harus dilakukan manusia. Manusia diberikan kebebasan sepenuhnya untuk memilih bentuk-bentuk muamalah yang sesuai potensi dan kersempatan yang dimilikinya (Ibad 2003). Hal tersebut juga sebenarnya ditegaskan oleh Rasulullah saw. yang menyatakan: Kalian lebih mengetahui tentang dunia kalian.

Artinya, menurut Mas’udi (1995) merujuk pada pemikiran Imam Syafi’i, sesudah Al Qur’an dan Hadits Nabi tidak ada otoritas lain kecuali Ijtihad, dengan satu tujuan utama untuk menjamin terwujudnya kemashlahatan dan mereduksi kemudharatan.

Jadi, tujuan ditetapkannya Syari’at (Maqasid Syari’ah) (Mas’udi, 1995) tidak memiliki basis (tujuan) lain kecuali kemaslahatan manusia. Merealisasikan kemashlahatan dengan menjamin kebutuhan pokoknya (dharuriyah), sekunder (hajiyah) dan pelengkap (tahsiniyah) (Khallaf 2002, 319). Bukan berarti, lanjut Mas’udi (1995), segi formal dan tekstual dari ketentuan hukum harus diabaikan. Ketentuan legal-formal-tekstual harus menjadi acuan tingkah laku manusia dalam kehidupan bersama, kalau tidak ingin menjadi anarki. Tetapi, tegas Mas’udi (1995) pada saat yang sama, haruslah disadari sedalam-dalamnya bahwa patokan legal-formal dan tekstual hanyalah merupakan cara bagaimana citra kemaslahatan dan keadilan itu diaktualisasikan dalam kehidupan nyata. Artinya, lanjut Mas’udi (1995) kemaslahatan kemanusiaan yang universal yang dalam ungkapan yang lebih rasional, yaitu keadilan sosial.

Kemaslahatan lanjut Mas’udi (1995) perlu dibedakan antara kemaslahatan yang bersifat individual-subjektif dan sosial-objektif. Kemaslahatan yang bersifat individual-subjektif adalah kemaslahatan yang menyangkut kepentingan seseorang yang secara eksistensial bersifat independen dan terpisah dengan kepentingan orang lain. Sedangkan kemaslahatan yang bersifat sosial-objektif adalah kemaslahatan yang menyangkut kepentingan orang banyak. Dalam hal ini otoritas yang berhak dan sekaligus menjadi hakimnya tidak lain adalah orang banyak yang bersangkutan, melalui mekanisme syura untuk mencapai kesepakatan (ijma’).

Menurut Syathibi dalam kitabnya yang berjudul al-Muwafaqat seperti dijelaskan oleh Zein (1999), usaha untuk menemukan maqasid al-shari’ah dapat dilakukan dengan merujuk langsung pada nash wahyu tanpa melihat makna/‘illat (redaksional), merujuk nash wahyu dengan melihat substansi ‘illat-nya (qiyas), lewat tujuan sekunder yang tidak boleh bertentangan dengan tujuan pokok, dan terakhir yaitu melalui sikap diamnya Rasulullah atas masalah yang terjadi.

Meskipun begitu, dijelaskan oleh Al-Najjar (1993) seperti dikutip oleh Arma (2004), yang perlu dicermati di sini adalah konteks syari’ah dan tujuan syari’ah adalah kesatuan yang tidak terpisahkan. Apa yang diperintahkan Allah dengan pasti tentulah akan mendatangkan kebaikan, dan apa yang dilarang jelas akan menimbulkan kerusakan. Aksioma yang mengatakan di mana ada mashlahah disitu pasti ada syari’ah kata Al-Qardhawi (1981) tidak selalu benar (Arma 2004). Menurut Al-Qardhawi aksioma yang seharusnya adalah berbunyi di mana ada hukum syara’ di sana pasti ada mashlahah. Ini karena terkadang apa yang dianggap sebagai mashlahah sebenarnya bukan mashlahah, bisa jadi ia sudah menjadi mashlahah yang dikategorikan dibatalkan (mulghah), seperti khamar. Pada keadaan seperti kasus ini sudah tentu syara’ tidak hadir. Akan tetapi ketika syari’ah ada, pasti mashlahah akan hadir di sana, karena tidak mungkin Allah mensyari’atkan sesuatu tanpa ada mashlahahnya, meskipun terkadang akal kita tidak dapat menangkap dan memahami masalah tersebut. Pada saat itulah keimanan dan keislaman kita diuji (Arma 2004).



Referensi:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar