TUJUAN AKUNTANSI SYARIAH
Menggagas akuntansi syariah yang ideal bukan hanya melakukan dekonstruksi akuntansi
Menggagas akuntansi syariah yang ideal juga bukan hanya melakukan rekonstruksi akuntansi syari’ah pragmatis
Menggagas akuntansi syariah yang ideal adalah melampaui (beyond) sekaligus melebihi (hyper) atas keduanya
Puncak akuntansi syariah yang ideal adalah pensucian (tazkiyah)
Itulah tujuan akuntansi syariah yang sebenarnya…
Tazkiyah menurut Mulawarman (2006a; 2006b; 2007a; 2007b; 2007c) secara harfiah adalah pensucian. Tazkiyah merupakan proses dinamis untuk mendorong individu dan masyarakat tumbuh melalui pensucian terus-menerus. Menurut Ahmad dalam Gambling dan Karim (1991; 33) pertumbuhan dan perubahan serta peningkatan manfaat materi dalam konsep Tazkiyah bukan hanya “berdampak”, tetapi “memiliki keutamaan”, pada keadilan sosial dan pengembangan spiritual yang lebih baik bagi umat. Tazkiyah mempunyai sifat menyeluruh dan mencakup aspek moral, rohani dan material yang terikat satu sama lainnya. Semuanya berorientasi pada optimasi cita-cita dan nilai kesejahteraan manusia dalam semua dimensi, baik dunia maupun akherat. Tazkiyah juga mencakup seluruh perubahan dan keseimbangan kuantitatif maupun kualitatif. Penjelasan lebih detil juga dapat dibaca dalam Mulawarman (2006a) Bab 4, 6,7,8,9,10.
Tazkiyah motivasi dan tujuan dalam akuntansi syariah menurut Mulawarman (2007a; 2007b) pada dasarnya dilakukan untuk melakukan pencerahan dan pembebasan dari hegemoni korporasi dan pemilik modal yang telah mengakar kuat dalam seluruh bangunan akuntansi (Mulawarman 2006a; Mulawarman 2006b). Tazkiyah tujuan akuntansi syariah harus diarahkan pada pemahaman Tawhid, yaitu pemahaman kepada sang Pencipta, Allah SWT. Dari titik sentral Tuhan, beranjak pada cinta manusia pada Tuhan-Alam-Manusia, berlanjut pada akuntabilitas, dan proses terakhir adalah pemahaman terhadap informasi, yaitu bentuk pencatatan untuk mencapai tujuan (Mulawarman 2007a; 2007b) .
Nilai-nilai Islam menurut Mulawarman (2006a; 2006b; 2007a; 2007b; 2007c) berdasarkan Tawhid merupakan nilai yang dianut setiap Muslim dalam keimanan dan penegasan atas Keesaan Allah. Keimanan dilanjutkan pada kepatuhan menjalankan syari’at sebagai penyerahan diri sebagai hamba Allah (‘abd Allah) (QS: 51:56; 36:61; 6:162). Setelah itu manusia harus terjun dalam hiruk pikuknya dunia sebagai Khalifatullah fil ardh (QS. 35:39). Untuk melaksanakan koeksistensi tujuan manusia tersebut Allah memberikan perangkat-perangkat hukum (syari’at) yang bersumber pada Al Qur’an dan As Sunnah. Manusia diberi kebebasan memilih bentuk-bentuk muamalah sesuai potensi dan kesempatan yang dimilikinya (Ibad, 2003). Dengan itu pula manusia menurut Mas‘udi (1995) tidak memiliki maqashid asy-syari’ah (tujuan syari’ah) lain kecuali kemaslahatan manusia dalam bentuk keadilan sosial.Berdasarkan kesejahteraan untuk semua itulah menurut Mulawarman (2007a; 2007b) kemudian konsep Tazkiyah menjadi konsep yang harus selalu hadir sebagai bagian dari ciri khas Islam. Usaha manusia memperoleh harta benda yang mencukupi kehidupannya merupakan jawaban terhadap panggilan dan tuntutan fitrah dan nafsunya yaitu cinta pada harta benda. Hal ini bukanlah penyimpangan dan bukan pula pengahalang untuk mencapai ridha Allah. Karena cinta harta merupakan fitrah sejak ia diciptakan namun manusia dalam memenuhi tuntutan nafsunya berkewajiban untuk menjaga batas-batas syari’at dan menggunakan cara yang disyari’atkan (lihat misalnya QS. 18: 46; 89: 20; 100: 8).Cinta harta lanjut Mulawarman (2007a; 2007; 2007c) harus diarahkan pada tiga hal. Pertama kecintaan harta sesuai maqashid asy-syari’ah untuk merealisasikan kemashlahatan dunia dan alam semesta sekaligus. Kedua, tugas (Khalifatullah fil ardh) dan pengabdiannya (abd’ Allah). Ketiga, fitrah kemanusiaan lainnya yang berlawanan dengan kecintaan harta yaitu kedermawanan. Ketiga hal itu hanya dapat terlaksana dengan jalan niat dan penyucian (tazkiyah) secara terus menerus .
Tujuan akuntansi syariah tegas Mulawarman (2007a; 2007b) dengan demikian adalah merealisasikan kecintaan utama kepada Allah SWT, dengan melaksanakan akuntabilitas ketundukan dan kreativitas, atas transaksi-transaksi, kejadian-kejadian ekonomi serta proses produksi dalam organisasi, yang penyampaian informasinya bersifat material, batin maupun spiritual, sesuai nilai-nilai Islam dan tujuan syariah.
Referensi:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar